Minggu, 29 November 2009

Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiy...

---------- Forwarded message ----------
From: Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy <abuhanifahalim@gmail.com>
Date: Sun, 29 Nov 2009 05:30:28 -0800 (PST)
Subject: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Tanya Jawab Bersama Syaikhul
Islam Ibnu Taimiy...
To: abuhanifahalim@gmail.com

Syaikhul Islam Abul 'Abbas Ahmad ibnu Taimiyyah rohimahulloh pernah
ditanya mengenai dua orang yang berselisih tentang masalah
akidah/keyakinan. Seorang di antaranya berkata, "Orang yang tidak
meyakini Alloh Subhanahu wa Ta'ala di atas langit adalah orang sesat."
Sedangkan yang satunya berkata, "Sesungguhnya Alloh itu tidak dibatasi
oleh suatu tempat." Padahal mereka berdua adalah sama-sama pengikut
mazhab Syafi'i. Maka, jelaskanlah kepada kami tentang akidah Imam
Syafi'i rodhiallohu 'anhu yang kami ikuti dan bagaimanakah akidah yang
benar?
Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
Segala puji bagi Alloh, keyakinan Asy Syafi'i rohimahulloh dan
keyakinan para pendahulu Islam seperti Malik, Ats Tsauri, Al Auza'i,
Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan juga menjadi
keyakinan para guru yang ditiru seperti Fudhail bin 'Iyadh, Abu
Sulaiman Ad Darani, Sahl bin Abdullah At Tusturi dan selain mereka
adalah sama. Sesungguhnya di antara ulama tersebut dan yang seperti
mereka tidak terdapat perselisihan dalam pokok-pokok agama.
Begitu pula Abu Hanifah rohmatullohi 'alaihi, sesungguhnya keyakinan
beliau dalam masalah tauhid, takdir dan perkara lainnya adalah sesuai
dengan keyakinan para ulama di atas. Sedangkan keyakinan yang dipegang
oleh para ulama itu adalah keyakinan para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, itulah keyakinan yang dikatakan oleh Al
Kitab dan As Sunnah. Asy Syafi'i mengatakan di bagian awal Muqoddimah
Kitab Ar Risalah:
الحمد لله الَّذِي هُوَ كَمَا وصف بِهِ نفسه، وفوق مَا يصفه بِهِ خلقه.
"Segala puji bagi Alloh yang (terpuji) sebagaimana sifat yang Dia
tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sifat-sifat yang tidak bisa
digambarkan oleh makhluknya."
Dengan demikian beliau rohimahulloh menerangkan bahwa Alloh itu
memiliki sifat sebagaimana yang Dia tegaskan di dalam Kitab-Nya dan
melalui lisan rosul-Nya shollallohu 'alaihi wa sallam.
Begitu pula yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal. Beliau mengatakan:
Alloh tidak diberi sifat kecuali dengan yang Dia tetapkan sendiri, atau
sifat yang diberikan oleh Rosul-Nya shollallohu 'alaihi wa sallam tanpa
disertai tahrif (penyelewengan makna), tanpa takyif
(memvisualisasikan), tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluk), tetapi
mereka menetapkan nama-nama terbaik dan sifat-sifat luhur yang Dia
tetapkan bagi diri-Nya. Mereka yakini bahwasanya:
لَيْسَ كمثله شيء وَهُوَ السميع البصير
"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai dengan-Nya, Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat" baik dalam sifat-sifatNya, Zat-Nya maupun dalam
perbuatan-perbuatanNya. Kemudian beliau berkata: Dialah yang telah
menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya
dalam waktu enam masa kemudian Dia bersemayam di atas Arsy; Dialah yang
telah benar-benar berbicara dengan Musa; Dialah yang telah menampakkan
diri kepada gunung dan gunung itu pun menjadi hancur terbelah
karenanya, tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat sama persis
dengan-Nya, ilmu-Nya tidak sama dengan ilmu siapa pun, kemampuan-Nya
tidak sama dengan kemampuan siapa pun, dan kasih sayang-Nya juga tidak
sama dengan kasih sayang siapa pun, bersemayam-Nya juga tidak sama
dengan bersemayamnya siapa pun, pendengaran dan penglihatan-Nya juga
tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan siapa pun. Ucapan-Nya
tidak sama dengan ucapan siapa pun, penampakan diri-Nya tidak
sebagaimana penampakan siapa pun.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah menginformasikan kepada kita di surga
itu ada daging, susu, madu, air, sutera dan emas. Dan Ibnu Abbas telah
berkata,
لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مما فِي الآخرة إِلاَّ الأسماء.
"Tidak ada suatu pun di dunia ini yang ada di akhirat nanti kecuali
hanya sama namanya saja."
Apabila makhluk-makhluk yang gaib ini ternyata tidak sama dengan
makhluk-makhluk yang tampak ini -padahal namanya sama- maka Sang
Pencipta tentu sangat jauh berbeda dibandingkan dengan makhluk-Nya,
inilah perbedaan Pencipta dengan makhluk yang diciptakan, meskipun
namanya sama.
Alloh telah menamai diri-Nya Hayyan 'Aliiman (Maha Hidup, Maha
Mengetahui), Samii'an Bashiiran (Maha Mendengar, Maha Melihat), dan
nama-Nya yang lain adalah Ra'uuf Rahiim (Maha Lembut, Maha Penyayang);
Alloh itu hidup tidak seperti hidup yang dialami oleh makhluk,
pengetahuan Alloh tidak seperti pengetahuan makhluk, pendengaran Alloh
tidak seperti yang dialami pendengaran makhluk, penglihatan Alloh tidak
seperti penglihatan makhluk, kelembutan Alloh tidak seperti kelembutan
makhluk, kasih sayang Alloh tidak seperti kasih sayang makhluk.
Nabi bersabda dalam konteks hadits budak perempuan yang cukup
populer: "Di mana Alloh?" Budak tersebut menjawab, "(Alloh) di atas
langit." Akan tetapi bukan berarti maknanya Alloh berada di dalam
langit, sehingga langit itu membatasi dan meliputi-Nya. Keyakinan
seperti ini tidak ada seorang pun ulama salaf dan ulama yang
mengatakannya; akan tetapi mereka semuanya bersepakat Alloh berada di
atas seluruh langit ciptaan-Nya. Dia bersemayam (tinggi) di atas 'Arsy,
terpisah dari makhluk-Nya; tidak terdapat sedikit pun unsur Dzat-Nya di
dalam makhluk-Nya, begitu pula, tidak terdapat sedikit pun unsur
makhluk-Nya di dalam Dzat-Nya.
Malik bin Anas pernah berkata:
إن الله فَوْقَ السماء، وعلمه فِي كلّ مكان
"Sesungguhnya Alloh berada di atas langit dan ilmu-Nya berada
(meliputi) setiap tempat."
Maka barang siapa yang meyakini Alloh berada di dalam langit dalam
artian terbatasi dan terliputi oleh langit dan meyakini Alloh
membutuhkan 'Arsy atau butuh terhadap makhluk lainnya, atau meyakini
bersemayamnya Alloh di atas 'Arsy-Nya sama seperti bersemayamnya
makhluk di atas kursinya; maka orang seperti ini adalah sesat, pembuat
bid'ah dan jahil (bodoh). Barang siapa yang meyakini kalau di
atas 'Arsy itu tidak ada Tuhan yang disembah, di atas 'Arsy itu tidak
ada Tuhan yang orang-orang sholat dan bersujud kepada-Nya, atau
meyakini Muhammad tidak pernah diangkat menghadap Tuhannya, atau
meyakini kalau Al Quran tidak diturunkan dari sisi-Nya, maka orang
seperti ini adalah Mu'aththil Fir'auni (penolak sifat Alloh dan
pengikut Fir'aun), sesat dan pembuat bid'ah.
Ibnu Taimiyah berkata setelah penjelasan yang panjang, Orang yang
mengatakan, "Barang siapa tidak meyakini Alloh di atas langit adalah
sesat", jika yang dimaksudkan adalah "barang siapa yang tidak meyakini
Alloh itu di dalam lingkup langit sehingga Alloh terbatasi dan diliputi
langit" maka perkataannya itu keliru. Sedangkan jika yang dimaksudkan
dengan ucapan itu adalah "barang siapa yang tidak meyakini apa yang
tercantum di dalam Kitab dan Sunnah serta telah disepakati oleh
generasi awal umat ini dan para ulamanya -yaitu Alloh berada di atas
langit bersemayam di atas 'arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya- maka
dia benar. Siapa saja yang tidak meyakininya berarti mendustakan Rosul
shollallohu 'alaihi wa sallam dan mengikuti selain orang-orang yang
beriman. Bahkan sesungguhnya dia telah menolak dan meniadakan Tuhannya;
sehingga pada hakikatnya tidak memiliki Tuhan yang disembah, tidak ada
Tuhan yang dimintainya, tidak ada Tuhan yang ditujunya."
Padahal Alloh menciptakan manusia -baik orang Arab maupun non-Arab-
yang apabila berdoa maka akan mengarahkan hatinya ke arah atas, bukan
ke arah bawah. Oleh karena itu ada orang bijak mengatakan: Tidak pernah
ada seorang pun yang menyeru: "Ya Alloh!!" kecuali didapatkan di dalam
hatinya -sebelum lisan tergerak- dorongan ke arah atas dan hatinya
tidak terdorong ke arah kanan maupun kiri.
Ahlu ta'thil dan ta'wil (penolak dan penyeleweng sifat Alloh) memiliki
syubhat dalam hal ini. Mereka benturkan Kitabullah dan Sunnah
Rosulullah shollallohu 'alaihi wa sallam dengan syubhat ini, mereka
tentang kesepakatan salaful ummah dan para ulama. Mereka tentang fitrah
yang telah Alloh anugerahkan kepada hamba-hambaNya, mereka tentang
sesuatu yang telah terbukti dengan akal sehat. Dalil-dalil ini semua
bersepakat bahwa Alloh itu berada di atas makhluk-Nya, tinggi di
atasnya. Keyakinan semacam ini Alloh anugerahkan sebagai fitrah yang
dimiliki oleh orang-orang tua bahkan anak-anak kecil dan juga diyakini
oleh orang badui; sebagaimana Alloh menganugerahkan fitrah berupa
pengakuan terhadap adanya (Alloh) Pencipta Yang Maha tinggi. Rosulullah
shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih:
كلّ مولود يولد عَلَى الفطرة؛ فأبواه يهودانه، أَوْ ينصّرانه، أَوْ يمجسانه، كَمَا
تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هَلْ تحسّون فِيهَا من جدعاء؟
"Semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah; Kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor
binatang melahirkan anak dengan utuh tanpa ada anggota tubuh yang
hilang, apakah menurutmu ada yang hilang telinganya (tanpa sebab sejak
dari lahirnya)?"
Kemudian Abu Hurairah rodhiallohu 'anhu berkata: Jika kalian mau
bacalah,
فطرة الله الَّتِي فطر النَّاس عَلَيْهَا، لاَ تبديل لخلق الله
"Itulah fitrah Alloh yang manusia diciptakan berada di atasnya, tidak
ada penggantian dalam fitrah Alloh."
Inilah maksud dari perkataan Umar bin Abdul 'Aziz: "Ikutilah agama
orang-orang badui dan anak-anak kecil yang masih asli, yakinilah fitrah
yang telah Alloh berikan kepada mereka, karena Alloh menetapkan bahwa
fitrah hamba fitrah dan untuk memperkuat fitrah bukan untuk
menyimpangkan dan juga bukan untuk mengubahnya."
Sedangkan musuh-musuh para rosul seperti kaum Jahmiyah Fir'auniyah dan
lain-lain itu bermaksud mengganti dan mengubah fitrah yang Alloh
berikan, mereka lontarkan berbagai syubhat/kerancuan dengan
kalimat-kalimat yang tidak jelas sehingga banyak orang itu tidak
mengerti maksudnya; dan tidak bisa membantah mereka.
Sumber kesesatan mereka adalah penggunaan istilah-istilah yang bersifat
global dan tidak bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rosul-Nya
shollallohu 'alaihi wa sallam, juga tidak pernah pula dikatakan oleh
salah seorang ulama kaum muslimin, seperti istilah tahayyuz, jisim
(jasad/raga), jihhah (arah) dan lain sebagainya.
Barang siapa yang mengetahui bantahan syubhat mereka hendaklah dia
menjelaskannya, namun barang siapa yang tidak mengetahuinya hendaknya
tidak berbicara dengan mereka dan janganlah menerima kecuali yang
berasal dari Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana yang difirmankan Alloh,
وَإِذَا رأيت الَّذِينَ يخوضون فِي آياتنا فأعرض عنهم حتّى يخوضوا فِي حديثٍ غيره
"Dan apabila kamu melihat orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Kami
maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mengganti pembicaraan."
Barang siapa berbicara tentang Alloh, Nama dan Sifat-Nya dengan
pendapat yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah maka dia
termasuk orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Alloh secara batil.
Kebanyakan dari mereka itu menisbatkan kepada para ulama kaum muslimin
pendapat-pendapat yang tidak pernah mereka katakaberbagai hal yang
tidak pernah mereka katakan, kemudian mereka katakan kepada para
pengikut imam-imam itu: inilah keyakinan Imam Fulan; oleh karena itu
apabila mereka dituntut untuk membuktikannya dengan penukilan yang sah
dari para imam niscaya akan terbongkar kedustaannya.
Asy Syafi'i mengatakan, "Hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada Ahli
ilmu kalam (baca: ahli filsafat) menurutku adalah dipukuli dengan
pelepah kurma dan sandal lalu diarak mengelilingi kabilah-kabilah dan
kaum-kaum sambil diumumkan: 'Inilah balasan/hukuman yang dijatuhkan
kepada orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan malah
menekuni ilmu kalam.'"
Abu Yusuf Al Qadhi berkata, "Barang siapa menuntut ilmu agama dengan
belajar ilmu kalam dia akan menjadi zindiq (baca: sesat)."
Ahmad mengatakan "Tidak akan beruntung orang yang menggeluti ilmu
kalam."
Sebagian ulama mengatakan: Kaum mu'aththilah/penolak sifat Alloh itu
pada hakikatnya adalah penyembah sesuatu yang tidak ada, sedangkan kaum
mumatstsilah/penyerupa sifat Alloh dengan sifat makhluk itu adalah
penyembah arca. Mu'aththil itu buta, dan mumatstsil itu rabun; padahal
agama Alloh itu berada antara sikap melampaui batas/ghuluw dan sikap
meremehkan.
Alloh ta'ala berfirman,
وكذلك جعلناكم أمّة وسطاً
"Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan."
Posisi Ahlusunnah di dalam Islam seperti posisi Islam di antara
agama-agama.
Walhamdulillahi Rabbil 'aalamiin.
(Majmu' Fatawa V/256-261)
***
Dialihbahasakan oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
- http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini:
http://muslim.or.id/aqidah/tanya-jawab-bersama-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah-dimana-allah.html

--
Posting oleh Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy ke Abu Hanifah Alim
Al-Bantuliy pada 11/29/2009 08:30:00 PM

Sabtu, 28 November 2009

Artikel direkomendasikan oleh abu hanifah alim: Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Assalamu'alaikum abu ibrohim,
Teman Anda, abu hanifah alim, merekomendasikan artikel ini 'Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu' kepada Anda.

Berikut keterangan dari beliau:
N/A

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu
diposting oleh Muslim.or.id pada tanggal March 16, 2009 (10:35 am) di kategori Akhlaq dan Nasehat

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul'ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.


Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: "Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan." (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli 'Ilmissalaf 'ala 'Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
Senantiasa didengar doanya.
Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
Selalu mengharapkan akhirat.
Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara' dan takut pada Allah Taala.


Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
Tidak dikabulkan doanya.
Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.


Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, "Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu... Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: "Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka." (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji':

Bayan Fadhli 'Ilmissalaf 'ala 'Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya'ir Al-Islamiah
Shahih Muslim, Dar As-Salam
Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma'arif


***

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami'ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/yang-kita-lupakan-dalam-menuntut-ilmu.html

Selasa, 24 November 2009

Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Ternyata Kesyirikan di Zaman Kita Lebih Parah

---------- Forwarded message ----------
From: abuhanifah alim <abuhanifahalim@gmail.com>
Date: Tue, 24 Nov 2009 16:21:03 +0700
Subject: Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Ternyata Kesyirikan di
Zaman Kita Lebih Parah
To: abuhamzahhendri.muti@blogger.com

---------- Pesan terusan ----------
Dari: Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy <abuhanifahalim@gmail.com>
Tanggal: 18 November 2009 10:46
Subjek: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Ternyata Kesyirikan di Zaman Kita
Lebih Parah
Ke: abuhanifahalim@gmail.com


Para pembaca yang budiman, diantara musibah besar yang menimpa kaum muslimin
dewasa ini adalah acuh terhadap urusan agama dan sibuk dengan urusan dunia.
Oleh karena itu banyak diantara mereka yang terjerumus ke dalam hal-hal yang
diharamkan Alloh karena sedikitnya pemahaman tentang
permasalahan-permasalahan agama. Dan jurang terdalam yang mereka masuki
yaitu lembah hitam kesyirikan.

Perbuatan dosa yang paling besar inipun begitu samar bagi kebanyakan manusia
karena kejahilan mereka dan rajinnya setan dalam meyesatkan manusia
sebagaimana yang dikisahkan Alloh tentang sumpah iblis, "Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka
dari jalan Engkau yang lurus." (Al-A'rof: 16). Bahkan kesyirikan hasil
tipudaya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini lebih parah daripada
kesyirikan yang terjadi pada zaman Rosululloh Shollallohu 'alaihi
wasallam...!! Kenapa bisa demikian ?

Kemusyrikan Zaman Dahulu Hanya di Waktu Lapang

Sesungguhnya orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh melakukan kesyirikan
hanya ketika dalam keadaan lapang saja. Namun tatkala mereka dalam keadaan
sempit, terjepit, susah dan ketakutan mereka kembali mentauhidkan Alloh,
hanya berdo'a kepada Alloh saja dan melupakan segala sesembahan selain
Alloh. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Alloh tentang keadaan mereka,
"Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang
kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu
berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih." (Al-Isra':
67). "Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila
Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang
pernah dia berdoa (kepada Alloh) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan
dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya. Katakanlah: 'Bersenang
-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu
termasuk penghuni neraka'." (Az-Zumar: 8).

Itulah keadaan musyrikin zaman dahulu, lalu bagaimana keadaan musyrikin pada
zaman kita ini? Ternyata sama saja bagi orang-orang musyrik zaman kita ini,
baik dalam waktu lapang ataupun sempit tetap saja mereka menjadikan bagi
Alloh sekutu. Tatkala punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah
ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen ke tempat-tempat yang
dianggap keramat. Tatkala sesuatu ketika terkena musibah, mereka beranggapan
bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin penunggu) kampungnya
kemudian meminta ampun dan berdoa kepadanya agar menghilangkan musibah itu
atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya. Ini adalah bentuk kesyirikan
kepada Alloh yang amat nyata. Alloh berfirman, "Hanya bagi Alloh-lah (hak
mengabulkan) doa yang benar. Dan sesuatu yang mereka sembah selain Allah
tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang
yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke
mulutnya, padahal air
itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu,
hanyalah sia-sia belaka." (Ar-Ro'du: 14)

Sesembahan Musyrikin Dulu Lebih Mending Sholehnya

Orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh Sholallohu 'alaihi wasallam
menjadikan sekutu bagi Alloh dari dua kelompok, yang pertama adalah
hamba-hamba Alloh yang sholeh, baik dari kalangan para nabi, malaikat
ataupun wali. Dan yang kedua adalah seperti pohon, batu dan lainnya. Lalu
bagaimana keadaan orang-orang musyrik zaman kita? Saking parahnya keadaan
mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat
maksiatpun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Lihat betapa banyak orang
yang berbondong-bondong ngalap berkah ke makam Pangeran Samudro dan Nyai
Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen. Diceritakan bahwa mereka berdua adalah
seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang
berselingkuh, kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung
Kemukus hingga meninggal. Konon sebelum meninggal Pangeran Samudro berpesan
bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika melakukan seperti apa yang ia
lakukan bersama ibu tirinya. Sehingga s
ebagai syarat "mujarab" untuk mendapat berkah di sana, harus dengan
berselingkuh dulu...!! Allohu Akbar!

Musyrikin Zaman Dahulu Tidak Menyekutukan Alloh Dalam Rububiyah-Nya

Tauhid Rububiyah adalah mengikrarkan bahwa Alloh lah satu-satunya pencipta
segala sesuatu, yang memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan serta
hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Alloh. Ini semua diakui oleh
orang-orang musyrik zaman dahulu. Dalilnya adalah firman Alloh, "Dan sungguh
jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya
mereka menjawab: 'Alloh', maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Alloh )?." (Az-Zukhruf: 87). Juga firman-Nya, "Katakanlah:
'Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab:
'Alloh.' Maka katakanlah 'Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?'." (Yunus:
31)

Akan tetapi titik penyimpangan mereka yaitu kesyirikan dalam Tauhid Uluhiyah
(mengikrarkan bahwa hanya Alloh sajalah yang berhak ditujukan kepada-Nya
segala bentuk ibadah, seperti do'a, nadzar, menyembelih kurban dan
lain-lain). Inilah yang diingkari oleh musyrikin zaman dulu. Mereka berdoa
kepada patung atau penghuni kubur bukan dengan keyakinan bahwa patung itu
bisa mengabulkan do'a mereka atau punya kekuasaan untuk mendatangkan
keburukan, namun yang mereka maksudkan hanyalah supaya patung (sebagai
perwujudan dari orang sholeh) atau penghuni kubur itu dapat menyampaikan
do'a mereka kepada Alloh. Mereka berkeyakinan bahwa orang sholeh itu yang
telah diwujudkan/dilambangkan dalam bentuk gambar/patung tersebut mempunyai
kedudukan mulia di sisi Alloh. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa
dan maksiat, sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Alloh, tetapi
harus melalui perantara. Inilah yang mereka kenal dengan meminta syafa'at
pada sesembahan mereka Mereka (orang-or
ang musyrik) mengatakan, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat- dekatnya." (Az-Zumar:
3)

Lalu bagaimana keadaan musyrikin sekarang ini? Diantara mereka ada yang
berkeyakinan bahwa yang memberikan jatah ikan bagi nelayan, yang mengatur
ombak laut selatan adalah Nyi Roro Kidul. Sungguh tidak seorang pun dapat
menciptakan seekor ikan kecil pun, ini adalah hak khusus Alloh dalam
Rububiyah-Nya, tetapi mereka menisbatkannya kepada Nyi Roro Kidul. Allohu
akbar! betapa keterlaluan dan lancangnya terhadap Pencipta alam semesta!!!
Sehingga tidaklah heran pula jika banyak diantara masyarakat yang takut
memakai baju hijau tatkala berada di pantai selatan, karena khawatir ditelan
ombak yang telah diatur oleh Nyi Roro Kidul.

Lihatlah, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada
orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk-bentuk kesyirikan
dan samarnya hal tersebut sudah seharusnya setiap kita untuk mempelajari
ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari segala macam
bentuk kesyirikan. Sungguh betapa jahilnya orang yang mengatakan "Untuk apa
belajar tauhid sekarang ini?"

Akhirnya kita memohon kepada Alloh agar memberikan kepada kita taufik dan
menjauhkan diri kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan yang merupakan
sebab kehancuran di dunia maupun di akhirat. Wallohu A'lam.

***

Penulis: Ibnu 'Ali Al-Barepany
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah -
http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini:
http://muslim.or.id/aqidah/ternyata-kesyirikan-di-zaman-kita-lebih-parah.html

--
Posting oleh Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy ke Abu Hanifah Alim
Al-Bantuliy<http://alimalbantuliy.blogspot.com/2009/11/ternyata-kesyirikan-di-zaman-kita-lebih.html>pada
11/18/2009 10:46:00 AM

Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Menjadikan Kyai Sebagai Sesembahan Selain Allah

---------- Forwarded message ----------
From: Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy <abuhanifahalim@gmail.com>
Date: Tue, 17 Nov 2009 19:46:11 -0800 (PST)
Subject: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Menjadikan Kyai Sebagai
Sesembahan Selain Allah
To: abuhanifahalim@gmail.com

Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita agar melaksakan taat
kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh Ta'ala berfirman yang artinya, "Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul-Nya dan
pemimpin kalian." (An Nisa': 59)
Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Alloh dan
Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada
makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Jika
makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Alloh dan
Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada taat
kepada makhluk dalam maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Sabda
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada ketaatan kepada
siapa pun dalam maksiat kepada Alloh, ketaatan hanyalah dalam perkara
yang baik menurut syariat." (HR. Bukhori dan Muslim)
Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin? Di antara mereka ada yang
menentang perintah Alloh dan Rosul-Nya, menentang Al Qur'an, menentang
sunnah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam padahal dalil tersebut
sudah jelas bagi mereka. Mereka lebih memilih pendapat pemimpin
golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak
Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sampai-sampai mereka
menghalalkan sesuatu yang Alloh Ta'ala haramkan, dan mengharamkan
sesuatu yang Alloh Ta'ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang.
Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Alloh Ta'ala.
Alloh Ta'ala berfirman yang artinya, "Mereka jadikan orang-orang alim
dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Alloh." (At
Taubah: 31)
Kami Tidak Menyembah Mereka
Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa
sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu 'anhu yang dulu beragama
nasrani berkata, "Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka". Kemudian
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkata, "Bukankah mereka
mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya,
dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut
menghalalkannya?" Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu 'anhu
menjawab, "Ya!" Rosululloh berkata, "Itulah bentuk peribadatan kalian
kepada mereka." (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Inilah yang disebut syirik
dalam ketaatan. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh
Ta'ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada
bab: Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan
yang dihalalkan oleh Alloh dan menghalalkan yang diharamkan oleh Alloh,
maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.
Marah Karena Alloh Ta'ala
Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma berkata, "Hujan batu dari langit akan
segera menimpa kalian. Aku katakan, 'Rosululloh berkata
demikian-demikian', namun kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan Umar
berkata demikian'." Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma marah karena ada
yang menentang perkataan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam
dengan perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu 'anhuma. Padahal
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menginformasikan bahwa mereka
berdua termasuk penghuni surga, bahkan Abu Bakar dan Umar
rodhiyallohu 'anhuma adalah orang yang paling utama di antara umat ini
dan orang yang pendapat-pendapatnya lebih mendekati kebenaran.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian
mentaati Abu Bakar dan Umar, kalian akan mendapat petunjuk." (HR
Muslim). Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam juga
bersabda, "Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dan gigitlah
sunnah itu dengan gi
gi geraham kalian." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Hatim,
shohih)
Jadi apabila ada yang menentang perkataan atau hadits Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar saja
terlarang, bagaimana lagi jika menentang hadits Rosululloh dengan
pendapat atau perkataan selain mereka berdua? Tentunya lebih terlarang
lagi. (Lihat Al Qoulul Mufid 2/88-89).
Perkataan Ulama' Tentang Menentang Hadits
1. Imam Abu Hanifah rohimahullohu
"Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan kami jika dia
tidak tahu dari mana kami mengambilnya".
"Jika saya menyampaikan perkataan yang bertentangan dengan Kitabulloh
dan hadits Rosululloh, maka tinggalkanlah perkataanku".

2. Imam Malik rohimahullohu
"Sesungguhnya saya hanyalah manusia, kadang salah dan kadang benar,
maka telitilah pendapatku. Yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
ambillah dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
tinggalkanlah".
"Pendapat semua orang dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan
Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam".

3. Imam Syafi'i rohimahullohu
"Jika suatu hadits itu shohih, maka itulah pendapatku".
"Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa jika ada yang mengetahui hadits
Rosululloh, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena mengikuti
pendapat seseorang".

Imam Ahmad rohimahullohu
"Janganlah engkau mengekor kepadaku, Malik, Syafi'i, Auza'i, dan
Ats-Tsaury. Ambillah dari sumber mereka mengambil".
"Barang siapa menolak hadits Rosululloh maka dia dalam jurang
kehancuran". (Lihat Sifat Sholat Nabi hal 47-53).

Demikianlah perkataan para ulama yang melarang kita menentang hadits
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pendapat seseorang.
Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan hal ini. Hanya
kepada Alloh Ta'ala kita memohon supaya kita termasuk orang-orang yang
selalu mendahulukan perkataan Alloh dan Rosul-Nya dari pada perkataan
manusia, dan menjadikan kita selalu berpegang teguh dengan sunnah
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Wallohul Musta'an.
***
Penulis: Abul Abbas Didik Suyadi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
- http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini:
http://muslim.or.id/aqidah/menjadikan-kyai-sebagai-sesembahan-selain-allah.html

--
Posting oleh Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy ke Abu Hanifah Alim
Al-Bantuliy pada 11/18/2009 10:46:00 AM

Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Tata Cara Mandi Haid dan Mandi Junub

---------- Forwarded message ----------
From: Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy <abuhanifahalim@gmail.com>
Date: Thu, 19 Nov 2009 16:30:39 -0800 (PST)
Subject: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Tata Cara Mandi Haid dan Mandi Junub
To: abuhanifahalim@gmail.com

Diringkas dari majalah As Sunah Edisi 04/Th.IV/1420-2000, oleh Ummu
'Athiyah
Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar

Haid adalah salah satu najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan
ibadah sholat dan puasa (pembahasan mengenai hukum-hukum seputar haidh
telah disebutkan dalam beberapa edisi yang lalu), maka setelah selesai
haidh kita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan
mandi haid.

Agar ibadah kita diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu
ajaran islam ini, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan Rasulullah telah menyebutkan tata
cara mandi haid dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah
Radhiyallahu 'Anha bahwa Asma' binti Syakal Radhiyallahu 'Anha bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang mandi haidh,
maka beliau bersabda:

تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ
عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ
شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ
تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ
أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي
بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ

"Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya
(daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti:
sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan
bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu
menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit
kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu
mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi,
kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma' berkata: "Bagaimana aku
bersuci dengannya?" Beliau bersabda: "Maha Suci Allah" maka 'Aisyah
berkata kepada Asma': "Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan
kain/kapas itu)."

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau
memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ
أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ
اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي
بِهَاأَثَرَا لدَّمِ

"Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak
wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: "Bagaimana
caranya aku bersuci dengannya?" Beliau bersabda: "Maha Suci Allah
bersucilah!" Maka 'Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata:
"Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan
kain/kapas)." (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): "Jumhur ulama berkata (bekas
darah) adalah farji (kemaluan)." Beliau berkata (1/627): "Diantara
sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi
kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu
memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai
juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid." (Dinukil
dari Jami' Ahkaam an-Nisaa': 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-'Adawy berkata: "Wajib bagi wanita untuk memastikan
sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik
dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat
sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut
maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan
jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal
rambutnya, Wallahu A'lam." (Dinukil dari Jami' Ahkaam An-Nisaa' hal:
121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi
dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan
air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih
utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut:

- Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu' dan
membaguskan wudhu'nya.
- Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan
kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal
ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali
apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke
tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).
- Menyiramkan air ke badannya.
- Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak
wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji)
dengannya.
TATA CARA MANDI JUNUB BAGI WANITA

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, beliau berkata:

كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ
بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى
شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ

"Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub,
maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu
menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan
satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan
tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri." (Hadits Shahih riwayat
Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya
ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha berkata:

قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي
أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟
قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ
حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ
جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن

Aku (Ummu Salamah) berkata: "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus
menguraikannya untuk mandi karena junub?" Beliau bersabda: "Tidak,
cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau
mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci." (Hadits Shahih
riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176,
hadits: 105 dan dia berkata: "Hadits Hasan shahih," Ibnu Majah: 603)

Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

- Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan
wudhu'nya (dimulai dengan bagian yang kanan).
- Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
- Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.
- Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian
bagian yang kiri.
- Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.
Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai
karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana
yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh
badannya, maka hal itu telah mencukupinya. Wallahu A'lam bish-shawab.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Article taken from Muslimah.or.id - http://muslimah.or.id
URL to article:
http://muslimah.or.id/fikih/tata-cara-mandi-haid-dan-mandi-junub.html


--
Posting oleh Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy ke Abu Hanifah Alim
Al-Bantuliy pada 11/20/2009 07:30:00 AM

Fwd: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Menjadikan Kyai Sebagai Sesembahan Selain Allah

---------- Forwarded message ----------
From: Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy <abuhanifahalim@gmail.com>
Date: Tue, 17 Nov 2009 19:46:11 -0800 (PST)
Subject: [Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy] Menjadikan Kyai Sebagai
Sesembahan Selain Allah
To: abuhanifahalim@gmail.com

Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita agar melaksakan taat
kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh Ta'ala berfirman yang artinya, "Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul-Nya dan
pemimpin kalian." (An Nisa': 59)
Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Alloh dan
Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada
makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Jika
makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Alloh dan
Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada taat
kepada makhluk dalam maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Sabda
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada ketaatan kepada
siapa pun dalam maksiat kepada Alloh, ketaatan hanyalah dalam perkara
yang baik menurut syariat." (HR. Bukhori dan Muslim)
Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin? Di antara mereka ada yang
menentang perintah Alloh dan Rosul-Nya, menentang Al Qur'an, menentang
sunnah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam padahal dalil tersebut
sudah jelas bagi mereka. Mereka lebih memilih pendapat pemimpin
golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak
Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sampai-sampai mereka
menghalalkan sesuatu yang Alloh Ta'ala haramkan, dan mengharamkan
sesuatu yang Alloh Ta'ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang.
Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Alloh Ta'ala.
Alloh Ta'ala berfirman yang artinya, "Mereka jadikan orang-orang alim
dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Alloh." (At
Taubah: 31)
Kami Tidak Menyembah Mereka
Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa
sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu 'anhu yang dulu beragama
nasrani berkata, "Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka". Kemudian
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berkata, "Bukankah mereka
mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya,
dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut
menghalalkannya?" Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu 'anhu
menjawab, "Ya!" Rosululloh berkata, "Itulah bentuk peribadatan kalian
kepada mereka." (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Inilah yang disebut syirik
dalam ketaatan. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh
Ta'ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada
bab: Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan
yang dihalalkan oleh Alloh dan menghalalkan yang diharamkan oleh Alloh,
maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.
Marah Karena Alloh Ta'ala
Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma berkata, "Hujan batu dari langit akan
segera menimpa kalian. Aku katakan, 'Rosululloh berkata
demikian-demikian', namun kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan Umar
berkata demikian'." Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma marah karena ada
yang menentang perkataan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam
dengan perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu 'anhuma. Padahal
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menginformasikan bahwa mereka
berdua termasuk penghuni surga, bahkan Abu Bakar dan Umar
rodhiyallohu 'anhuma adalah orang yang paling utama di antara umat ini
dan orang yang pendapat-pendapatnya lebih mendekati kebenaran.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian
mentaati Abu Bakar dan Umar, kalian akan mendapat petunjuk." (HR
Muslim). Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam juga
bersabda, "Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dan gigitlah
sunnah itu dengan gi
gi geraham kalian." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Hatim,
shohih)
Jadi apabila ada yang menentang perkataan atau hadits Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar saja
terlarang, bagaimana lagi jika menentang hadits Rosululloh dengan
pendapat atau perkataan selain mereka berdua? Tentunya lebih terlarang
lagi. (Lihat Al Qoulul Mufid 2/88-89).
Perkataan Ulama' Tentang Menentang Hadits
1. Imam Abu Hanifah rohimahullohu
"Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan kami jika dia
tidak tahu dari mana kami mengambilnya".
"Jika saya menyampaikan perkataan yang bertentangan dengan Kitabulloh
dan hadits Rosululloh, maka tinggalkanlah perkataanku".

2. Imam Malik rohimahullohu
"Sesungguhnya saya hanyalah manusia, kadang salah dan kadang benar,
maka telitilah pendapatku. Yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
ambillah dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
tinggalkanlah".
"Pendapat semua orang dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan
Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam".

3. Imam Syafi'i rohimahullohu
"Jika suatu hadits itu shohih, maka itulah pendapatku".
"Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa jika ada yang mengetahui hadits
Rosululloh, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena mengikuti
pendapat seseorang".

Imam Ahmad rohimahullohu
"Janganlah engkau mengekor kepadaku, Malik, Syafi'i, Auza'i, dan
Ats-Tsaury. Ambillah dari sumber mereka mengambil".
"Barang siapa menolak hadits Rosululloh maka dia dalam jurang
kehancuran". (Lihat Sifat Sholat Nabi hal 47-53).

Demikianlah perkataan para ulama yang melarang kita menentang hadits
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dengan pendapat seseorang.
Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan hal ini. Hanya
kepada Alloh Ta'ala kita memohon supaya kita termasuk orang-orang yang
selalu mendahulukan perkataan Alloh dan Rosul-Nya dari pada perkataan
manusia, dan menjadikan kita selalu berpegang teguh dengan sunnah
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Wallohul Musta'an.
***
Penulis: Abul Abbas Didik Suyadi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
- http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini:
http://muslim.or.id/aqidah/menjadikan-kyai-sebagai-sesembahan-selain-allah.html

--
Posting oleh Abu Hanifah Alim Al-Bantuliy ke Abu Hanifah Alim
Al-Bantuliy pada 11/18/2009 10:46:00 AM