Sabtu, 31 Juli 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Manfaatkan Kesempatan!

Posted: 31 Jul 2010 10:00 AM PDT

Allah ta'ala menggambarkan tentang keistimewaan para Nabi dengan firman-Nya,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dengan disertai rasa harap dan cemas. Dan mereka pun senantiasa khusyu' dalam beribadah kepada Kami." (QS. Al Anbiyaa' [21] : 90).

Bersegera dalam Kebaikan

al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut, bahwa para nabi dan orang-orang salih itu besegera dalam melakukan amal pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya (Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, 5/273. cet al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah memaparkan, bahwa maknanya ialah para Nabi itu bersegera dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan mereka juga melakukan kebaikan pada waktu-waktunya yang utama. Mereka pun berusaha untuk menyempurnakan amalan mereka itu dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak mau meninggalkan sebuah keutamaan pun pada saat mereka sanggup untuk meraihnya. Mereka tidak mau menyia-nyiakannya, sehingga kalau kesempatan itu ada maka mereka pun bergegas untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya… (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 530)

Jangan Sia-Siakan Kesempatan!

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah, yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barangsiapa meninggalkan ibadah kepada ar-Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barangsiapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barangsiapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam mentaati syaithan. Barangsiapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barangsiapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan." (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Tais al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).

Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan mengatakan, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang singgah di perjalanan." Ibnu 'Umar berkata, "Kalau engkau berada di waktu pagi jangan sekedar menunggu datangnya waktu sore. Kalau engkau berada di waktu sore jangan sekedar menunggu datangnya waktu pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Bukhari. 6053, Kitab ar-Raqaa'iq)

Asas Kebaikan dan Keburukan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itulah akan tampak, bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya, maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula, bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan bentuk hukuman dari-Nya, maka sudah semestinya kamu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya agar menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan."

Beliau melanjutkan, "Seluruh ahli ma'rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat, bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Sedangkan hakekat al-khudzlan (ditelantarkan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do'a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh kepada-Nya, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…" (al-Fawa'id, hal. 94).

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Janganlah Buat Puasamu Sia-Sia

Posted: 31 Jul 2010 06:00 AM PDT

Di bulan Ramadhan ini setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa dengan menahan lapar dan dahaga mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Namun ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, dia tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya. Inilah yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur lagi membawa berita yang benar,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi -yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya-)

Apa di balik ini semua? Mengapa amalan puasa orang tersebut tidak teranggap, padahal dia telah susah payah menahan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari?

Saudaraku, agar engkau mendapatkan jawabannya, simaklah pembahasan berikut mengenai beberapa hal yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia -semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menjauhi hal-hal ini-.

1. Jauhilah Perkataan Dusta (az zuur)

Inilah perkataan yang membuat puasa seorang muslim bisa sia-sia, hanya merasakan lapar dan dahaga saja.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Apa yang dimaksud dengan az zuur? As Suyuthi mengatakan bahwa az zuur adalah berkata dusta dan menfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan Ibnu Majah, 1/121, Maktabah Syamilah)

2. Jauhilah Perkataan lagwu (sia-sia) dan rofats (kata-kata porno)

Amalan yang kedua yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia adalah perkataan lagwu dan rofats.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al Akhfasy mengatakan,

اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه

Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”

Lalu apa yang dimaksudkan dengan rofats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar mengatakan,

وَيُطْلَق عَلَى التَّعْرِيض بِهِ وَعَلَى الْفُحْش فِي الْقَوْل

“Istilah Rofats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji.”

Al Azhari mengatakan,

الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة

“Istilah rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rofats adalah kata-kata porno.

Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.

3. Jauhilah Pula Berbagai Macam Maksiat

Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Perhatikanlah saudaraku petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rojab Al Hambali berikut:

“Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat yang mubah ketika di luar puasa (seperti makan atau berhubungan badan dengan istri, -pen) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus:

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,

أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ

“Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”

Itulah puasa kebanyakan orang saat ini. Ketika ramadhan dan di luar ramadhan, kondisinya sama saja. Maksiat masih tetap jalan. Betapa banyak kita lihat para pemuda-pemudi yang tidak berstatus sebagai suami-istri masih saja berjalan berduaan. Padahal berduaan seperti ini telah dilarang dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun hal ini tidak diketahui dan diacuhkan begitu saja oleh mereka.

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi –shohih dilihat dari jalur lain-)

Apalagi dalam pacaran pasti ada saling pandang-memandang. Padahal Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan kita memalingkan pandangan dari lawan jenis. Namun, orang yang mendapat taufik dari Allah saja yang bisa menghindari semacam ini. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku. (HR. Muslim no. 5770)

Kalau di luar Ramadhan, perbuatan maksiat semacam ini saja jelas-jelas dilarang maka tentu di bulan Ramadhan lebih tegas lagi pelarangannya. Semoga kita termasuk orang yang mendapat taufik dari Allah untuk menjauhi berbagai macam maksiat ini.

Apakah Dengan Berkata Dusta dan Melakukan Maksiat, Puasa Seseorang Menjadi Batal?

Untuk menjelaskan hal ini, perhatikanlah perkataan Ibnu Rojab berikut, “Mendekatkan diri pada Allah ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqodho’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.”

Ibnu Hajar dalam Al Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya:

“Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”

Mula ‘Ali Al Qori dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih (6/308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”

Kesimpulannya: Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, memfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. –Semoga kita dijauhkan dari melakukan hal-hal semacam ini-

Ingatlah Suadaraku Ada Pahala yang Tak Terhingga di Balik Puasa Kalian

Saudaraku, janganlah kita sia-siakan puasa kita dengan hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Marilah kita menjauhi berbagai hal yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita. Sungguh sangat merugi orang yang melewatkan ganjaran yang begitu melimpah dari puasa yang dia lakukan. Seberapa besarkah pahala yang melimpah tersebut? Mari kita renungkan bersama hadits berikut ini.

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى »

Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Lihatlah saudaraku, untuk amalan lain selain puasa akan diganjar dengan 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Namun, lihatlah pada amalan puasa, khusus untuk amalan ini Allah sendiri yang akan membalasnya. Lalu seberapa besar balasan untuk amalan puasa? Agar lebih memahami maksud hadits di atas, perhatikanlah penjelasan Ibnu Rojab berikut ini:

“Hadits di atas adalah mengenai pengecualian puasa dari amalan yang dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan hingga 700 kebaikan yang semisal. Khusus untuk puasa, tak terbatas lipatan ganjarannya dalam bilangan-bilangan tadi. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla akan melipatgandakan pahala orang yang berpuasa hingga bilangan yang tak terhingga. Alasannya karena puasa itu mirip dengan sabar. Mengenai ganjaran sabar, Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39]: 10). Bulan Ramadhan juga dinamakan dengan bulan sabar. Juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah setengah dari kesabaran.” (HR. Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir no. 2658 mengatakan bahwa hadits ini dho’if , -pen)

Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menjalani ketaatan, sabar dalam menjauhi larangan dan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan. Dan dalam puasa terdapat tiga jenis kesabaran ini. Di dalamnya terdapat sabar dalam melakukan ketaatan, juga terdapat sabar dalam menjauhi larangan Allah yaitu menjauhi berbagai macam syahwat. Dalam puasa juga terdapat bentuk sabar terhadap rasa lapar, dahaga, jiwa dan badan yang terasa lemas. Inilah rasa sakit yang diderita oleh orang yang melakukan amalan taat, maka dia pantas mendapatkan ganjaran sebagaimana firman Allah ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At Taubah [9]: 120).” -Demikianlah penjelasan Ibnu Rojab (dalam Latho’if Al Ma’arif, 1/168) yang mengungkap rahasia bagaimana puasa seseorang bisa mendapatkan ganjaran tak terhingga, yaitu karena di dalam puasa tersebut terdapat sikap sabar.-

Saudaraku, sekali lagi janganlah engkau sia-siakan puasamu. Janganlah sampai engkau hanya mendapat lapar dan dahaga saja, lalu engkau lepaskan pahala yang begitu melimpah dan tak terhingga di sisi Allah dari amalan puasamu tersebut.

Isilah hari-harimu di bulan suci ini dengan amalan yang bermanfaat, bukan dengan perbuatan yang sia-sia atau bahkan mengandung maksiat. Janganlah engkau berpikiran bahwa  karena takut berbuat maksiat dan perkara yang sia-sia, maka lebih baik diisi dengan tidur. Lihatlah suri tauladan kita memberi contoh kepada kita dengan melakukan banyak kebaikan seperti banyak berderma, membaca Al Qur’an, banyak berzikir dan i’tikaf di bulan Ramadhan. Manfaatkanlah waktumu di bulan yang penuh berkah ini dengan berbagai macam kebaikan dan jauhilah berbagai macam maksiat.

Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, kemampuan untuk menjauhi yang larang dan diberikan rasa kecukupan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun menjelang Ashar di Panggang, Gunung Kidul
22 Sya’ban 1429 H [bertepatan dengan 24 Agustus 2008]
Semoga Allah membalas amalan ini

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Pengumuman Penerimaan Santri Baru Gelombang II Ma’had Syababul Masjid TA. 1431/1432 H

Posted: 31 Jul 2010 03:36 AM PDT

Bismillahirrahmanirrahim

Berikut ini nama-nama calon santri yang dinyatakan diterima sebagai santri baru Ma'had Syabaabul Masjid angkatan I, tahun ajaran 1431/1432 H untuk penerimaan gelombang ke-2.

1. Adil Nurimba
2. Fernanto Rindiyantono
3. Warto
4. Ar Rohim
5. Amrin Siantoro, S.
6. Raditya Ndaru*
7. Ramdhan*

Bagi yang bersangkutan dan juga santri yang diterima pada penerimaan gelombang ke-1 serta belum ikut briefing diharapkan kehadirannya untuk penjelasan agenda kegiatan belajar mengajar dalam acara Briefing Santri Baru Gel ke-2 pada:

Hari, tanggal : Ahad, 1 Agustus 2010
Waktu : Pkl. 09.00 – selesai
Tempat : Wisma MTI, Pogung Kidul (utara Masjid Siswa Graha)

Demikian pengumuman ini ditetapkan, semoga bisa menjadi perhatian. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Yogyakarta, 31 Juli 2010

Panitia Penerimaan Santri Baru
Ma'had Syabaabul Masjid

NB: Diharapkan untuk menyiapkan biaya pendaftaran sebesar Rp.30.000,-

Santri dengan tanda * belum mengumpulkan jawaban tes penerimaan, soal ujian sudah dikirim ke email yang bersangkutan, harap segera dikumpulkan.

Kajian Umum Tuban (8 Agustus 2010): Bagaimana Sahabat Menyambut Ramadhan..?

Posted: 31 Jul 2010 03:15 AM PDT

PENGAJIAN UMUM

Insyaallah diselenggarakan pada,
Hari/Tgl : Ahad, 8 Agustus 2010, 08.30 WIB s/d selesai

Tema :
Bagaimana Sahabat Menyambut Ramadhan..?

Pembicara :
Ustadz  Khusnul Yaqin
Dari Sekolah Tinggi Agama Islam Ali Bin Abu Tholib Surabaya

Tempat Masjid Baiturrohman Gedong Ombo, belakang   PDS (Pasar Dagang
Sepeda), Tuban

Insya Allah disediakan makan siang

Agus : 08884903543, Ali : 08123410640,Huda : 081230358111
Penyelenggara Yayasan Al Firqotun Najiya Tuban

Daurah Jogja (1-20 Ramadhan): Menggali Makna Al-Qur’an di Bulan Ramadhan, Ust Aris Munandar

Posted: 31 Jul 2010 03:08 AM PDT

Menggali Makna Al-Qur'an di Bulan Ramadhan

(Seri Kajian Tafsir Masjid Al-Ashri)

Kitab Rujukan: Durus Minal Qur'an, Syaikh Shalih Al-Fauzan

  • Hari: 1-20 Ramadhan 1431 H
  • Waktu: 05.30 – 07.15 WIB
  • Tempat: Masjid Al-Ashri Pogung Rejo, Sinduadi Mlati Sleman, Yogyakarta
  • Harga Kitab: Rp 78.000,00 (bagi yang memesan kitab)

Soal-148: Indonesia Negri Islam?

Posted: 31 Jul 2010 02:53 AM PDT

Apakah negri ini adalah negri islam atau tidak?

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Kajian Umum Solo (5 Agustus 2010): Asy-Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Posted: 31 Jul 2010 02:53 AM PDT

Hadirilah

Kajian Akbar Bersama Ulama Madinah

Tema:

NASIHAT BAGI KAUM MUSLIMIN

Bersama

Asy-Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili -hafizhahullah-

(Dosen Islamic University of Madinah An-Nabawiyyah, KSA)

Insya Allah akan diselenggarakan pada:

Kamis, 5 Agustus 2010
Pukul 08.00 WIB s.d. Selesai
Bertempat di Islamic Center Imam Bukhari Solo,
Jl. Raya Solo-Purwodadi Km. 8
Selokaton – Gondangrejo, Karanganyar , Solo, Jawa Tengah

Gratis, terbuka untuk umum

Putra dan Putri

Informasi:

081393264801 (Ustadz Agus Santoso)

Penyelenggara:

Ma’had Imam Bukhari Surakarta

Nadzar dalam Sorotan

Posted: 31 Jul 2010 01:00 AM PDT

Telah menjadi ketentuan pokok dalam permasalahan tauhid, segala bentuk peribadatan mutlak ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya. Dengan kata lain, tatkala motivasi utama dilakukannya  peribadatan tersebut adalah selain Allah, seperti ingin memperoleh pujian dan sanjungan, maka pelakunya telah terjerumus ke dalam jurang kesyirikan. Wal 'iyadzu biillah.

Nadzar adalah Ibadah

Pembaca budiman, salah satu bentuk ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah semata adalah nadzar. Nadzar merupakan tindakan seorang yang mewajibkan dirinya untuk melakukan suatu ibadah kepada Allah, yang pada dasarnya hal tersebut tidak wajib[1].

Di antara dalil yang menunjukkan nadzar merupakan ibadah adalah firman Allah ta'alaa dalam surat Al Insaan ayat 7, yang artinya,

"Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana."

Dalam ayat ini, Allah memuji para hamba-Nya yang menunaikan nadzar dan menjadikan hal itu sebagai salah satu sebab yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nadzar adalah ibadah, karena suatu perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga adalah ibadah.

Selain itu Allah juga memerintahkan para hamba-Nya untuk menyempurnakan nadzar dalam surat Al Hajj ayat 29. Perintah untuk menyempurnakan nadzar menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah[2].

Berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang yang melakukan nadzar dengan niat atau motivasi selain Allah, maka dirinya telah melakukan kesyirikan karena telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.

Penyimpangan dalam Masalah Nadzar

Terdapat beberapa penyimpangan seputar nadzar yang sering dilakukan sebagian kaum muslimin, diantara penyimpangan tersebut berada dalam tataran maksiat, dan sebagian bahkan masuk ke dalam kesyirikan dan kekufuran. Wal 'iyadzu billahi. Berikut kami paparkan di antara penyimpangan tersebut,

a) Bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah. Hal ini semisal perkataan seorang, "Saya bernadzar demi Allah untuk mencuri." Nadzar jenis ini haram untuk ditunaikan, meskipun niat nadzar tersebut ditujukan kepada Allah, karena tidak mungkin beribadah kepada Allah dengan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا وفاء لنذر في معصية

"Tidak boleh menunaikan nadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah."[3]. Wajib bagi pelaku nadzar jenis ini untuk membatalkan nadzarnya dan membayar kaffarah sumpah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

من نذر نذرا في معصية, فكفارته كفارة يمين

"Barangsiapa yang bernadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah, maka (hendaknya dirinya membayar) kaffarah sumpah."[4].

b) Bernadzar kepada selain Allah, seperti tindakan seorang yang pergi ke kuburan orang shalih lantas berujar, "Aku bernadzar demi kyai fulan" atau ucapan, "Aku bernadzar demi kuburan ini", dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada mereka. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena  telah memalingkan ibadah kepada selain Allah.

c) Bentuk penyimpangan dalam masalah nadzar yang juga sering dilakukan sebagian orang  dan merupakan turunan dari bentuk penyimpangan yang kedua adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh  Qasim Al Hanafi dalam Syarh Duraril Bihar, "Bentuk nadzar yang sering dilakukan sebagian besar kaum awwam (adalah nadzar yang dilakukan) di sisi kuburan-kuburan, seperti seorang yang mengharapkan kembalinya orang yang dicintai yang telah lama menghilang, seorang yang sedang sakit dan membutuhkan kesembuhan atau ia memiliki suatu kebutuhan, kemudian mendatangi kuburan orang-orang shalih, meletakkan kain tabir penutup kuburan di kepalanya lalu memohon, "Wahai tuan fulan, apabila Allah mengembalikan kerabatku yang telah lama pergi, atau menyembuhkan penyakitku, atau menunaikan hajatku. Maka (aku berkewajiban untuk memberi) kepadamu emas, atau perak, atau makanan, air atau minyak zaitun. Nadzar jenis ini batil berdasarkan kesepakatan ulama dengan beberapa alasan berikut, pertama, hal tersebut merupakan bentuk bernadzar kepada makhluk, sedangkan nadzar kepada makhluk hukumnya haram karena nadzar adalah ibadah dan ibadah tidak boleh ditujukan kepada makhluk. Kedua, media yang menjadi objek sasaran nadzar adalah seonggok mayit, padahal mayit tidaklah mampu untuk berbuat sesuatu pun  (bagi dirinya terlebih bagi orang lain). Ketiga, pelaku nadzar berkeyakinan bahwa mayit tersebut mampu berbuat sesuatu, (baik memberikan manfaat atau menghilangkan mara bahaya dari dirinya) di samping Allah, padahal keyakinan semacam ini merupakan keyakinan kekufuran."[5].

Nadzar jenis ini mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena menjadikan mayit tersebut sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah ta'alaa. Allah mengkategorikan orang yang berkeyakinan seperti ini sebagai musyrik dalam firman-Nya, yang artinya,

"Dan mereka menyembah (sesembahan) selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". (Yunus: 18).

Allah tabaraka wa ta'alaa juga berfirman, yang artinya,

"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya" (Az Zumaar: 3). Dalam ayat ini, secara gamblang Allah memberitakan bahwa di antara keyakinan syirik adalah keyakinan yang beredar luas di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mayit orang shalih dapat menjadi perantara yang dapat mendekatkan seorang kepada Allah ta'alaa.

d) Sebagian pelaku nadzar walaupun bernadzar kepada Allah, mereka meyakini bahwa kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar terlebih dahulu. Keyakinan semacam ini salah dan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah, Dzat yang Mahapemurah dan Mahapemberi kepada para hamba-Nya. Para ulama' berkata, "Sesungguhnya barangsiapa yang berkeyakinan bahwa kebutuhannya tidak akan terpenuhi melainkan dengan bernadzar, maka keyakinannya tersebut hukumnya haram. Karena dirinya berkeyakinan bahwa Allah tidak akan memberi (karunia kepada hamba-Nya) kecuali dengan adanya imbalan. Hal ini merupakan salah satu bentuk berburuk sangka kepada Allah dan keyakinan yang salah terhadap-Nya, justru sebaliknya Allah adalah Dzat yang sangat royal dalam memberikan nikmat kepada para hamba-Nya."[6].

Jenis Nadzar

Mungkin sebagian orang bertanya, mengapa nadzar itu tergolong ibadah, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membencinya dan pernah bersabda,

إنه لا يأتي بخير

"Sesungguhnya nadzar tidaklah mendatangkan kebaikan."[7].

Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu mengetahui jenis nadzar ditinjau dari sebabnya. Berdasarkan tinjauan ini, nadzar terbagi dua, yaitu:

a) Nadzar muthlaq, yaitu seorang bernadzar untuk melakukan ibadah kepada Allah tanpa mengharapkan ganti dari Allah, seperti ucapan seorang, "Saya bernadzar untuk puasa 3 hari berturut-turut karena Allah". Ulama' mengatakan nadzar jenis ini tidaklah termasuk dalam sabda Nabi di atas, karena dia bernadzar tanpa mengharapkan imbalan duniawi.

b) Nadzar muqayyad, seorang bernadzar untuk beribadah kepada Allah sembari mengharapkan gantinya, seperti seorang yang mengatakan, "Apabila Allah menyembuhkanku, maka aku akan berpuasa seminggu berturut-turut." Atau seorang yang berucap, "Wahai Allah, apabila Engkau meluluskanku dalam ujian nasional, maka aku akan bersedekah sekian ratus ribu." Orang yang melaksanakan nadzar jenis ini mempersyaratkan sesuatu, yang apabila dipenuhi, barulah dirinya melaksanakan ibadah tersebut. Nadzar jenis inilah yang dikatakan oleh para ulama' termasuk dalam hadits di atas dan dicela oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,

وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ

"Sesungguhnya nadzar hanyalah berfungsi agar orang yang pelit beramal mau untuk beramal."[8].

Jangan Terbiasa Bernadzar!

Mungkin yang patut direnungkan oleh mereka yang sering bernadzar adalah hendaknya  nadzar jangan dijadikan kebiasaan, walaupun berbentuk mutlak dan tidak dimaksudkan untuk mengharapkan ganti dari Allah ta'alaa, karena terkadang pelaku nadzar tidak mampu menunaikannya dengan sempurna dan dalam pelaksanaannya mengandung banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga dirinya terjatuh dalam dosa[9].

Adapun bernadzar kepada Allah dengan mengharapkan ganti, seyogyanya ditinggalkan,  karena hal tersebut ciri orang yang pelit dalam beramal. Pelakunya telah disifati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang pelit, karena seorang yang pelit tidaklah mau untuk beramal hingga syarat yang dia ajukan terpenuhi, sehingga tidak ubahnya seperti seorang pedagang yang mengharapkan imbalan[10].

Patut diingat meskipun demikian perbuatan menunaikan nadzar merupakan sesuatu yang dipuji oleh Allah sebagaimana keterangan yang telah lalu.

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita ikhlas dan benar dalam beramal, sesungguhnya Dia Mahamengabulkan do'a. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan mereka yang senantiasa tegak di atas tauhid dan sunnah beliau. Aamin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id


[1] Taudlihul Ahkam 7/132

[2] Al Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/155, Darul Aqidah

[3] HR. Muslim nomor 1641, dinukil dari Taudlihul Ahkam 7/135

[4] HR. Abu Dawud nomor 3322

[5] Dinukil dari Fathul Majiid hal. 153, Darul Hadits, dengan beberapa penyesuaian

[6] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal. 160, Darut Tauhid

[7] HR. Muslim nomor 3095

[8] HR. Muslim nomor 3095

[9] Taudlihul Ahkam 7/134

[10] At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid hal.159 dengan beberapa penyesuaian.

Jumat, 30 Juli 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


SMS Tausyiah Gratis Selama Ramadhan

Posted: 30 Jul 2010 07:41 AM PDT

Dapatkanlah sms tausyiah selama bulan Ramadhan

Daftar segera ke no: 085228016489

Format:
Ketik reg(spasi)namalengkap(spasi)jeniskelamin(spasi)statuspekerjaan(spasi)asal
Gratiss..

>>Panitia Semarak Ramadhan 1431 H Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari<<

Website:
www.muslim.or.id
www.muslimah.or.id

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Yang Dibolehkan Ketika Puasa (2)

Posted: 30 Jul 2010 03:00 AM PDT

5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.

Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)

يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ditanya, "Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?" Beliau berkata, "Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah." (HR. Bukhari no. 1940)

Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi'i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa'id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.

Imam Asy Syafi'i dalam Al Umm mengatakan, "Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku tidak menganggap puasanya batal."[1]

Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:

Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al Khudri berikut:

رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam."[2]

Ibnu Hazm mengatakan, "Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa'id: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam". Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya 'azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus)."[3]

Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, "Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas."[4]

Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: "Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya" adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh 'Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya."[5]

Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah. Anas ditanya,

أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

"Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?" Anas menjawab, "Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah."

Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]

6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia mengatakan,

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

"Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan."[7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana berkumur-kumur ketika berpuasa."[8]

Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.

'Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab 'Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya'. 'Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,

رَأَيْتُهُ يَمْضَغُ لِلصَّبِي طَعَامًا وَهُوَ صَائِمٌ يَمْضَغُهُ ثُمَّ يُخْرِجُهُ مِنْ فِيْهِ يَضَعَهُ فِي فَمِ الصَّبِي

"Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut."[9]

7. Bercelak dan tetes mata

Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu 'alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho'if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi'in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho'if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya."[11]

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

لَا بَأْس بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ

"Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa."[12]

8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar

Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya 'Mandi untuk orang yang berpuasa.' Ibnu Hajar berkata, "Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.

Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari 'Ali mengenai larangan orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh 'Abdur Rozaq, namun dengan sanad dho'if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa."[13]

Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin 'Abdirrahman, beliau berkata,

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ.

"Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Al 'Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. "[14]

Penulis Aunul Ma'bud mengatakan, "Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau mubah." [15]

9. Menelan dahak.

Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]

10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.

Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.[18]

11. Makan, minum, jima' (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.

12. Muntah yang tidak sengaja.

Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal puasa, namun masih dibolehkan ketika berpuasa. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Al Umm, 2/106.

[2] HR. Ad Daruquthni 2/183 dan Ibnu Khuzaimah 7/247. Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu'tamar yang meriwayatkan secara mauquf -yaitu hanya sampai pada sahabat-. Syaikh Al Albani dalam Irwa' (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu' -sampai pada Nabi- atau mawquf -sampai sahabat-.

[3] Dinukil dari Al Irwa', 4/74.

[4] Al Irwa', 4/75.

[5] HR. Abu Daud no 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114.

[7] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam Irwa' no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan.

[8] Majmu' Al Fatawa, 25/266-267.

[9] HR. 'Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/207).

[10] Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/115.

[11] Majmu' Al Fatawa, 25/234.

[12] Dikeluarkan oleh 'Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari, 4/154.

[13] Fathul Bari, 4/153

[14] HR. Abu Daud no. 2365.

[15] 'Aunul Ma'bud, 6/352.

[16] Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada.

[17] Lihat Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/117.

[18] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118.

Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)

Posted: 30 Jul 2010 02:00 AM PDT

Bagi hamba yang masih memiliki tabi'at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa, Allah Ta'ala juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya. Berikut ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari'at ini dan tidak membatalkan puasa :

1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.

Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma, mereka berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa."[1]

Istri tercinta Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa."[2]

2. Bersiwak ketika berpuasa.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

"Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu."[3]

Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab "Siwak basah dan kering bagi orang yang berpuasa". Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya'bi) yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.[4]

Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari'i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak."[5]

Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, "Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat."[6]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, "Yang benar adalah siwak  dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang."[7]

Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits 'Aisyah. Dari 'Aisyah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

"Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah."[8]

Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.[9]

3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً

"Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa."[10]

Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu."[11]

Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi.[12]

Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, "Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan."[13]

4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.

Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani.[14] An Nawawi rahimahullah mengatakan, "Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani".[15]

Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu 'anhum.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ .

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya."[16]

Dari Jabir bin 'Abdillah, dari 'Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,

هَشَشْتُ يَوْما فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ». قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَفِيمَ »

"Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?[17]

Masyruq pernah bertanya pada 'Aisyah,

مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا الْجِمَاعَ

"Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? 'Aisyah menjawab, 'Segala sesuatu selain jima' (bersetubuh)'."[18]

– Bersambung insya Allah -

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. Bukhari no. 1926.

[2] HR. Muslim no. 1109.

[3] Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu'allaq (tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1/73 dengan sanad lebih lengkap. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih..

[4] Fathul Bari, 4/158.

[5] Majmu' Al Fatawa, 25/266.

[6] Tuhfatul Ahwadzi, 3/345.

[7] Majmu' Fatwa wa Rosa'il Ibnu 'Utsaimin, 17/259.

[8] HR. An Nasai no. 5 dan Ahmad 6/47. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] Majmu' Fatawa wa Rosail Ibnu 'Utsaimin, 17/261-262.

[10] HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa'i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.

[11] Majmu' Al Fatawa, 25/266.

[12] Shahih Fiqh Sunnah, 2/112.

[13] Fathul Bari, 4/159.

[14] Lihat Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.

[15] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215.

[16] HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106.

[17] HR. Ahmad 1/21. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.

[18] Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4/149), dikeluarkan oleh 'Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih.

Soal-147: Hukum Membuat Ormas

Posted: 29 Jul 2010 11:50 PM PDT

Bolehkah membentuk ormas atau yayasan?

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Laporan Donasi YPIA Semarak Ramadhan 1431 H (29 Juli 2010)

Posted: 29 Jul 2010 06:25 AM PDT

Assalaamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.

Berikut ini adalah donasi sejak tanggal 1 Juli 2010 s.d. 29 Juli 2010 dalam Rangka Ramadhan, termasuk donasi umum & rutin bulanan.

No Tanggal Donatur Nominal Melalui Tujuan Donasi
1 1-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 Mandiri 500 buletin 500 Web
2 2-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp300,000 Mandiri YPIA
3 6-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp200,000 Mandiri Radio Muslim
4 8-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 Mandiri semarak romadhon
5 12-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah semarak romadhon
6 13-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah (belum jelas alokasinya)
7 13-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp20,000 BNI Syariah (belum jelas alokasinya)
8 14-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 Mandiri buletin
9 14-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 BCA semarak romadhon
10 14-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah PPMMP
11 14-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp15,000 BCA Buku Romadhon
12 14-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp400,000 BNI Syariah PPMMP
13 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 Mandiri Buku Romadhon
14 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp2,000,000 Mandiri Buku Romadhon
15 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 BNI Syariah semarak romadhon
16 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 BCA Buku Romadhon
17 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp200,000 Mandiri Buku Romadhon
18 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 Mandiri Buku Romadhon
19 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp5,000,000 BCA Buku Romadhon
20 15-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp150,000 Mandiri Kajian Ust Badrussalam
21 16-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp300,000 Mandiri Buku Romadhon
22 16-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp250,000 BNI Syariah Buku Romadhon
23 16-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah (belum jelas alokasinya)
24 16-Jul-2010 Hamba Allah Jakarta Rp1,550,000 BNI Syariah Buku Romadhon
25 16-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp50,000 Mandiri Buku Romadhon
26 16-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 BCA Buku Romadhon
27 17-Jul-2010 Hamba Allah di Malaysia Rp400,000 BCA 200rb buku, 200rb iftor
28 17-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp200,000 BCA semarak romadhon
29 17-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 BCA semarak romadhon
30 17-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp200,000 Mandiri semarak romadhon
31 18-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp100,000 BNI Syariah buku romadhon
32 19-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp70,000 BCA Buku Romadhon
33 19-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 Mandiri Buku Romadhon
34 20-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp250,000 BCA Buku Romadhon
35 20-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 Mandiri semarak romadhon
36 22-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp300,000 BCA Semarak Ramadhan
37 24-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp5,000,000 Mandiri Semarak Ramadhan
38 24-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 Mandiri Semarak Ramadhan
39 26-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah Buku Romadhon
40 26-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp250,000 Mandiri Buku Romadhon
41 26-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp300,000 BNI Syariah Buku Romadhon
42 26-Jul-2010 Hamba ALLAH Yogya Rp500,000 Langsung Buku Romadhon
43 26-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp1,000,000 BNI Syariah Semarak Ramadhan
44 27-Jul-2010 Hamba ALLAH di Amerika Rp5,277,132 Money Gram Semarak Ramadhan
45 27-Jul-2010 Hamba ALLAH di Australia Rp2,626,000 BCA Semarak Ramadhan
46 28-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BCA Radio Muslim
47 28-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp2,000,000 Mandiri Buku Romadhon
48 28-Jul-2010 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah Buku Romadhon
49 29-Jul-10 Hamba ALLAH Rp500,000 BNI Syariah Semarak Ramadhan

NB: tanggal di dalam laporan di atas tidak semua tepat tanggalnya, ada yang sesuai tanggal konfirmasi dan tanggal transfer. Harap maklum

Jumlah total sementara: Rp 41,408,132 dengan rincian:
1. Melalui Rekening Mandiri: Rp 15,950,000
2. Melalui Rekening BCA: Rp 11,561,000
3. Melalui Rekening BNI Syariah: Rp 8,120,000
4. Donasi Langsung: Rp 500.000
5. Melalui Money Gram CIMB NIAGA: Rp5,277,132

Dengan rincian tujuan/alokasi donasi sebagai berikut:
1. Semarak Ramadhan: Rp 37,238,132
terdiri atas:
a, Penerbitan dan Distribusi buku Panduan Ramadhan: Rp 17,235,000
b. Kegiatan Semarak Ramadhan yg lain: Rp 20,003,132
2. YPIA, selain Semarak Ramadhan: Rp 4,170,000

Terima kasih kepada para donatur yang telah menyumbangkan sebagian hartanya untuk mendukung kelancaran kegiatan2 ini. Semoga menjadi amal shalih yang diterima ALLAH. InsyaaALLAH akan disalurkan sesuai amanahnya. Jazakumullah khairan

Mohon maaf, sementara kami tampilkan dengan nama “Hamba ALLAH” sampai kami bisa memastikan donatur2 mana yang namanya boleh ditampilkan ke umum. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam pencatatan maupun sikap kami yang kurang berkenan di hati.

Masih terbuka kepada kaum muslimin untuk membantu kegiatan dakwah di bulan Ramadhan maupun kegiatan dakwah rutin.
Proposal semarak ramadhan 1431 H: http://www.archive.org/download/ramadhan1431/ProposalSemarakRamadhan1431H.pdf

Bagi para donatur yang ingin berpartisipasi bisa menyalurkan dananya ke:

a) Rekening Bank Mandiri cabang UGM (Yogyakarta)
Atas Nama : Satria Buana – muslim.or.id
No. Rekening : 137 00 0503568 4

b) Rekening Bank BNI Syari'ah
Atas Nama : Syarif Mustaqim QQ LBIA
No. Rekening : 0105338917

c) Rekening Bank BCA
Atas Nama : Satria Buana – muslim.or.id
No. Rekening : 2951825893

d) Western Union (pos) dan Money Gram
Atas Nama : Retno Syaputra
Alamat : Wisma Misfallah Tholabul Ilmi, Pogung Kidul No. 8C RT. 01 RW. 49 Sleman, Yogyakarta, Indonesia 55284

Setiap donatur harap mengkonfirmasikan donasinya ke nomor : Abu Hasan Putra (0856 644 00 941) atau via Yahoo Messenger (YM): mhasan_fadhilah.

informasi:
www.ypia.or.id
www.muslim.or.id
www.muslimah.or.id

Wassalaamu ‘alaikum warahmatullohi wabaro kaatuh

Yogyakarta, 29 Juli 2010. 14.30 WIB

Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari
Bendahara Umum

Syarif Mustaqim

Soal-146: Pengumpulan Al-qur’an=Bid’ah Hasanah?

Posted: 29 Jul 2010 01:52 AM PDT

Orang yang membela bid’ah mengatakan “para sahabat mengumpulkan al-qur’an menjadi satu mushaf, maka ini adalah bid’ah hasanah”. Bagaimana menyanggahnya?

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Soal-145: Maulid Boleh Karena Ijtihad Ulama?

Posted: 28 Jul 2010 07:00 PM PDT

Orang-orang yang membela acara maulid mengatakan “Acara maulid merupakan ijtihad dari ulama-ulama terdahulu, dan orang-orang yang menyelisihinya berarti tidak membolehkan adanya ijtihad”, bagaimana membantahnya?

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Pahala Melimpah di Balik Memberi Makan Berbuka

Posted: 28 Jul 2010 07:00 PM PDT

Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.

Inilah janji pahala yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebutkan,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga."[1]

Al Munawi rahimahullah menjelaskan bahwa memberi makan buka puasa di sini boleh jadi dengan makan malam, atau dengan kurma. Jika tidak bisa dengan itu, maka bisa pula dengan seteguk air.[2]

Ath Thobari rahimahullah menerangkan, "Barangsiapa yang menolong seorang mukmin dalam beramal kebaikan, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan pahala semisal pelaku kebaikan tadi. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kabar bahwa orang yang mempersiapkan segala perlengkapan perang bagi orang yang ingin berperang, maka ia akan mendapatkan pahala berperang. Begitu pula orang yang memberi makan buka puasa atau memberi kekuatan melalui konsumsi makanan bagi orang yang berpuasa, maka ia pun akan mendapatkan pahala berpuasa."[3]

Sungguh luar biasa pahala yang diiming-imingi.

Di antara keutamaan lainnya bagi orang yang memberi makan berbuka adalah do'a dari orang yang menyantap makanan berbuka. Jika orang yang menyantap makanan mendoakan si pemberi makanan, maka sungguh itu adalah do'a yang terkabulkan. Karena memang do'a orang yang berbuka puasa adalah do'a yang mustajab. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

"Ada tiga orang yang do'anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do'a orang yang terdzolimi."[4] Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do'a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.[5]

Apalagi jika orang yang menyantap makanan tadi mendo'akan sebagaimana do'a yang Nabi shallallahu 'alaihi wa salam praktekkan, maka sungguh rizki yang kita keluarkan akan semakin barokah. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

"Allahumma ath'im man ath'amanii wa asqi man asqoonii" [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku][6]

Tak lupa pula, ketika kita hendak memberi makan berbuka untuk memilih orang yang terbaik atau orang yang sholih. Carilah orang-orang yang sholih yang bisa mendo'akan kita ketika mereka berbuka. Karena ingatlah harta terbaik adalah di sisi orang yang sholih. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan pada 'Amru bin Al 'Ash,

يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta di tangan hamba yang Shalih.”[7]

Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.[8] Dari 'Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »

Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.”[9]

Seorang yang semangat dalam kebaikan pun berujar, "Seandainya saya memiliki kelebihan rizki, di samping puasa, saya pun akan memberi makan berbuka. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Sungguh pahala melimpah seperti ini tidak akan saya sia-siakan. Mudah-mudahan Allah pun memudahkan hal ini."

Lalu bagaimanakah dengan Saudara?

Disusun di hari penuh berkah, Panggang-GK, 4 Sya'ban 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Faidul Qodhir, 6/243.

[3] Syarh Ibnu Baththol, 9/65.

[4] HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194.

[6] HR. Muslim no. 2055.

[7] HR. Ahmad 4/197. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.

[8] Lihat Lathoif Al Ma'arif, 298.

[9] HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.