Rabu, 30 Juni 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Soal-131: Hukum Maulid=Hukum Kultum Tarawih?

Posted: 30 Jun 2010 01:00 AM PDT

Bolehkah melaksanakan maulid dengan alasan sebagaimana bolehnya kultum tarawih?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Selasa, 29 Juni 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Soal-130: Hukum Maulid=Hukum Pemberian Harokat?

Posted: 29 Jun 2010 07:00 PM PDT

Dapatkah seseorang beralasan “bahwa melakukan maulid nabi sama dengan pemberian harokat Al-qur’an”, jika berbeda dimana letak perbedaannya?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Wajibkah Kita Bermadzhab?

Posted: 29 Jun 2010 10:00 AM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam beragama dan jangan sampai meninggalkannya. "Kalau memilih madzhab Syafi'i, madzhab itu saja. Jangan berpaling ke lainnya," begitu ujar sebagian orang. Apakah benar prinsip semacam ini? Semoga tulisan kali ini bisa sebagai jawaban berharga.

Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?

Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, “Tidak wajib“. Inilah pendapat yang lebih tepat. Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah. Dan telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.[1]
Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.

Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap diperbolehkan mengikuti madzhab tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja. Keadaan-keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:

  1. Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan.
  2. Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan.[2]

Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.

Rambu-Rambu dalam Bermadzhab

Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid'ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala' dan baro' (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta ijma' (konsensus) para ulama kaum muslimin.

Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, 'Amr atau yang lainnya.

Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari'at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:

  1. Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
  2. Berpaling dari Al Qur'an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
  3. Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
  4. Mendudukkan imam madzhab sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.[3]

Ibnu Taimiyah mengatakan,

أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ

"Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu."[4]

Dasar dari perkataan di atas adalah firman Allah Ta'ala,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An Nisa': 65)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. An Nisa': 64)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

"Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imron: 31)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (QS. Al Ahzab: 36)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An Nisa': 69)

Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah

Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil. Sedangkan memaksakan seseorang untuk bermadzhab dengan pendapat salah seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya dalil.

Allah Ta'ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS. Al A'rof: 3)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

"Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“.  (QS. Ali Imron: 32)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian" (QS. An Nisa': 59)

Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al 'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu 'anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

"Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa'ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian." (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Salah seorang khulafa'ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu mengatakan,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

"Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang." (Lihat Shohih wa Dho'if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)

Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah mengatakan, "Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq (paling jujur) seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya (ajarannya), membanggakan diri dengan menyelisihinya, mencemooh petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari kesalahan dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-

Perkataan Berharga dari Imam Madzhab

Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata,

لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ

"Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen)."[5]

Imam Malik berkata,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ

"Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur'an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur'an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]

Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi'i berkata,

إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

"Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku."[7]

Imam Asy Syafi'i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

"Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku."[8]

Imam Ahmad berkata,

مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ

"Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan."[9]

Hanya Allah yang beri taufik.

Diselesaikan di Panggang, GK, 18 Rabi'uts Tsani 1431 H (02/04/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat I'lamul Muwaqi'in, 4/261-262

[2] Lihat Majmu' Al Fatawa, 11/514 dan 20/209

[3] Pembahasan ini dan point sebelumnya kami ambil faedah dari pembahasan kitab Ma'alim Ushul Fiqh, hal. 501-503

[4] Majmu' Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa'

[5] I'lamul Muwaqi'in, 2/211, Darul Jail

[6] I'lamul Muwaqi'in, 1/75

[7] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41

[8] Majmu' Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa'

[9] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53

Soal-129: Hukum Membaca Mushaf Ketika Shalat

Posted: 29 Jun 2010 01:00 AM PDT

Apakah boleh seorang imam membaca mushaf Al-qur’an di dalam shalat?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Soal-128: Bolehkah Menghormati Dengan Membungkukkan Badan?

Posted: 28 Jun 2010 07:00 PM PDT

Bolehkah membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Senin, 28 Juni 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Inilah Bekas-Bekas Pelajaran Tauhid

Posted: 28 Jun 2010 10:00 AM PDT

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas/dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya." (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah juga berkata, "Segala kebaikan yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda maka sesungguhnya itu merupakan buah/dampak dari lawannya…." (al-Qawa'id al-Hisan al-Muta'alliqatu Bi Tafsir al-Qur'an, hal. 26)

Allah ta'ala berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah." (QS. al-An'aam: 82)

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata: Ketika turun ayat "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah." (QS. al-An'aam: 82) Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas merekapun mengadu, "Lalu siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya; 'Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.' (QS. Luqman: 13)." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/206])

al-Khatthabi rahimahullah berkata, "Asal makna dari zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan barangsiapa yang menempatkan ibadah untuk selain Allah ta'ala maka dia adalah sosok pelaku kezaliman yang paling zalim." (sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim [2/206])

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar'awi hafizhahullah berkata, "Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan kepada kita bahwasanya barangsiapa yang mentauhidkan-Nya dan tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik maka Allah menjanjikan atasnya keselamatan dari masuk ke dalam neraka di akherat serta Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lurus di dunia." (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar'awi hafizhahullah juga menjelaskan, "Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang meninggal di atas tauhid serta bertaubat dari dosa-dosa besar maka dia akan selamat dari siksa neraka. Dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan masih bergelimang dengan dosa-dosa besar/tidak bertaubat darinya sementara dia masih bertauhid maka dia akan selamat dari -hukuman- kekal di neraka." (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengucapkan la ilaha illallah wahdahu la syarika lah -tiada sesembahan yang benar selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya- dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian mengatakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan putra dari seorang hamba perempuan-Nya serta terjadi dengan kalimat-Nya yang diberikan kepada Maryam dan merupakan ruh dari -ciptaan-Nya. Dan dia mengatakan bahwa surga itu benar, neraka juga benar. Maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga melalui salah satu pintu manapun di antara kedelapan pintu surga yang dia kehendaki." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/70-71])

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila -minimal- di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan bisa menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali." (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah ada seorang hambapun yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya melainkan Allah pasti haramkan dia tersentuh api neraka." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/82-83])

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah barang sedikitpun maka dia pasti masuk neraka." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/164])

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jibril 'alaihis salam datang kepadaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa barangsiapa yang meninggal di antara umatmu dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah barang sedikitpun maka dia pasti masuk surga." Aku -Abu Dzar- berkata, "Meskipun dia berzina dan mencuri?". Maka beliau menjawab, "Meskipun dia berzina dan mencuri." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/166])

an-Nawawi rahimahullah berkata, "…Apabila dia adalah seorang pelaku dosa besar -yaitu yang masih bertauhid- meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya -maksudnya tidak bertaubat dari dosa besarnya- maka dia berada di bawah kehendak Allah -artinya terserah kepada Allah mau menghukum atau memaafkannya-. Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia disiksa terlebih dulu lalu akan dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…" (Syarh Muslim [2/168])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "…Sesungguhnya salah satu ciri hati yang sakit adalah ia berpaling dari mengkonsumsi hal-hal yang bermanfaat dan yang cocok dengannya menuju hal-hal yang justru membahayakan dirinya, serta ia berpaling dari obat yang manjur menuju penyakit yang membahayakan…" (Ighatsat al-Lahfan, hal. 96)

Beliau rahimahullah juga berkata, "…Salah satu ciri sehatnya hati adalah ia senantiasa merasa rindu dan berhasrat untuk berkhidmat/mengabdi dan taat -kepada Allah- sebagaimana halnya orang yang lapar menginginkan makanan dan minuman." (Ighatsat al-Lahfan, hal. 98)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)

"Maka barangsiapa yang merasa takut akan kedudukan Rabbnya serta menahan dari melampiaskan hawa nafsunya -dengan cara yang terlarang-, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggal baginya." (QS. an-Nazi'aat: 40-41)

Allah ta'ala juga berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)

"Pada hari itu -kiamat- tidak berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat." (QS. asy-Syu'araa': 88-89).

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa sallam.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Sihir dan Perdukunan Perusak Tauhid

Posted: 28 Jun 2010 02:00 AM PDT

Fenomena kesyirikan dan pelanggaran tauhid banyak terjadi di masyarakat kita, karena kurangnya pengetahuan mereka tentang masalah tauhid dan keimanan, serta hal-hal yang bisa mendangkalkan bahkan merusak akidah (keyakinan) seorang muslim.

Kenyataan ini diisyaratkan dalam banyak ayat al-Qur'an, di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,

{وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}

"Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)" (QS Yusuf:106).

Ibnu Abbas menjelaskan arti ayat ini, "Kalau ditanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka akan menjawab: "Allah (yang menciptakan semua itu)", (tapi bersamaan dengan itu) mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya)[1].

Semakna dengan ayat di atas Allah Ta’ala juga berfirman,

{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}

"Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya" (QS Yusuf:103).

Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka[2].

Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau:

«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ»

"Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala)"[3].

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya hari kiamat[4].

Tukang sihir dan dukun adalah Thagut sekaligus syaitan dari kalangan manusia

Allah Ta’ala berfirman,

{هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنزلُ الشَّيَاطِينُ، تَنزلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ، يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ}

"Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir). Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar (dengan mencuri berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka adalah para pendusta" (QS asy-Syu'araa':221-223).

Imam Qatadah[5] menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "para pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk" adalah para dukun dan tukang sihir[6], mereka itulah teman-teman dekat para syaitan yang mendapat berita yang dicuri para syaitan tersebut dari langit[7].

Bahkan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud ketika menafsirkan firman Allah,

{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)" (QS al-An'aam:112).

Baliau radhiyallahu ‘anhu berkata, "Para dukun (dan tukang sihir) adalah syaitan-syaitan (dari kalangan) manusia"[8].

Dalam atsar/riwayat yang lain sahabat yang mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya tentang arti "Thagut", beliau t berkata: "mereka adalah para dukun yang syaitan-syaitan turun kepada mereka"[9].

Thagut adalah segala sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah Ta’ala dan dijadikan sekutu bagi-Nya[10]. Allah Ta’ala telah mewajibkan kita untuk mengingkari dan menjauhi Thagut dalam segala bentuknya, bahkan tidak akan benar keimanan dan tauhid seorang hamba tanpa mengingkari dan menjauhinya. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu" (QS an-Nahl:36).

Dalam ayat lain Dia Ta’ala berfirman,

{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}

"Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah (semata-mata), maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (dan) tidak akan putus (kalimat tauhid Laa ilaaha illallah). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS al-Baqarah:256).

Demikianlah profil sangat buruk para dukun dan tukang sihir, tapi mengapa masih saja ada orang yang mau mempercayai mereka, bahkan menyandarkan nasib hidup mereka kepada teman-teman syaitan ini? Bukankah ini merupakan kebodohan yang nyata dan penentangan besar terhadap Allah Ta’ala dan agama-Nya?

Termasuk dalam kategori dukun dan tukang sihir adalah tukang santet, tukang tenung, ahli nujum, peramal, dan orang yang disebut sebagai "paranormal"[11] atau "orang pintar".

Praktek kufur dan syirik yang biasa dilakukan oleh para dukun dan tukang sihir

Allah Ta’ala berfirman,

{وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS al-Baqarah:102).

Ayat ini dengan tegas menyatakan kafirnya para dukun dan tukang sihir[12],  yang ini disebabkan perbuatan syirik dan kufur yang mereka lakukan, yaitu:

1- Mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}

"Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan" (QS an-Naml:65).

Juga dalam firman-Nya,

{عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا}

"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya" (QS al-Jin:26-27).

Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: "(Para) ahli nujum dan orang-orang yang seperti mereka (para dukun dan tukang sihir) yang melakukan (praktek perdukunan) dengan memukul batu-batu kerikil, melihat buku-buku (perdukunan), atau mengusir burung (sebagai tanda kesialan atau keberuntungan), mereka itu bukanlah rasul yang diridhai-Nya untuk diperlihatkan-Nya kepada mereka perkara-perkara gaib yang mereka inginkan, bahkan mereka adalah orang yang kafir (kepada-Nya), berdusta (besar) atas (nama)-Nya dengan kebohongan, penipuan dan prasangka (dusta) yang mereka (lakukan)"[13].

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh ketika menjelaskan makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam"[14].

Beliau berkata: "Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan kafirnya dukun dan tukang sihir, karena mereka mengaku-ngaku mengetahui ilmu gaib, yang ini merupakan kekafiran"[15].

Adapun perkara-perkara gaib yang disampaikan oleh para dukun yang terkadang benar, maka itu adalah berita yang dicuri oleh para syaitan dari langit, lalu mereka sampaikan kepada teman-teman dekat mereka, yaitu para dukun dan tukang sihir, yang kemudian mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan sebelum disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih[16].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang al-kuhhaan (para dukun), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang tidak punya arti (orang-orang yang hina)". Kemudian si penanya berkata, Sesungguhnya para dukun tersebut terkadang menyampaikan kepada kami suatu (berita) yang (kemudian ternyata) benar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kalimat (berita) yang benar itu adalah yang dicuri (dari berita di langit) oleh jin (syaitan), lalu dimasukkannya ke telinga teman dekatnya (dukun dan tukang sihir), yang kemudian mereka mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan"[17].

Peristiwa pencurian berita dari langit oleh para syaitan banyak terjadi di jaman Jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu tidak banyak terjadi, karena Allah Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai penjaga langit dan pembakar para syaitan yang mencuri berita dari langit[18]. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

{ وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا. وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا}

"(Para Jin itu berkata): "Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang (setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya)" (QS al-Jin:8-9).

2- Bekerjasama dengan syaitan dan melakukan perbuatan kufur/syirik sebagai syarat agar syaitan mau membantu mereka dalam praktek sihir dan perdukunan.

Para dukun dan tukang sihir selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek perdukunan dan sihir mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allah Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan qurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur'an dengan berbagai macam cara, atau perbuatan-perbuatan kafir lainnya[19]. Allah Ta’ala berfirman,

{وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا}

"Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan" (QS al-Jin:6).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ}

"Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”, lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui" (QS al-An'aam:128).

Imam al-Qurthubi berkata: "Kesenangan/manfaat yang didapatkan jin dari manusia adalah dengan berita bohong menakutkan, perdukunan dan sihir yang diberikan jin kepada manusia (dukun dan tukang sihir)"[20].

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia mentaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya"[21].

Oleh karena itulah, syaikh Abdul 'Aziz bin Baz ketika menerangkan sebab kafirnya para dukun dan tukang sihir, beliau berkata, "…Karena dukun dan tukang sihir mengaku-ngaku (mengetahui) ilmu gaib, dan ini adalah kekafiran, juga karena mereka tidak akan (mungkin) mencapai tujuan mereka (melakukan sihir dan perdukunan) kecuali dengan melayani jin (syaitan) dan menjadikannya sembahan selain Allah, dan ini adalah perbuatan kufur kepada Allah dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala)"[22].

Hukum mendatangi dukun dan tukang sihir

Mendatangi dan bertanya kepada teman-teman dekat syaitan ini adalah perbuatan dosa yang sangat besar dan bahkan bisa jadi merupakan kekafiran kepada Allah Ta’ala[23], dengan perincian sebagai berikut:

-          Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, tanpa membenarkannya (hanya sekedar bertanya), maka ini hukumnya dosa yang sangat besar dan tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari[24], berdasarkan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir[25]), kemudian bertanya tentang sesuatu hal kepadanya, maka tidak akan diterima shalat orang tersebut selama empat puluh malam (hari)"[26].

-          Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, kemudian membenarkan ucapan/berita yang mereka sampaikan, maka ini adalah kufur/kafir terhadap Allah Ta’ala[27], berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam"[28].

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh berkata: "Orang yang membenarkan dukun dan tukang sihir, meyakini (benarnya ucapan mereka), dan meridhai hal tersebut, maka ini merupakan kekafiran (kepada Allah Ta’ala)"[29].

Bolehkah menghilangkan/mengobati sihir dengan bantuan dukun/tukang sihir?

Jawabnya: jelas tidak boleh, karena kalau mendatangi dan membenarkan tukang sihir/dukun adalah perbuatan kafir kepada Allah Ta’ala, maka terlebih lagi meminta bantuan kepada mereka untuk menghilangkan sihir![30].

Oleh karena itu, dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah r ditanya tentang an-Nusyrah (cara mengobati sihir) yang biasa dilakukan orang-orang di jaman Jahiliyah, yaitu dengan meminta tukang sihir/dukun atau memakai sihir untuk menghilangkan sihir tersebut[31], Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Itu termasuk perbuatan syaitan"[32].

Adapun mengobati sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an dan zikir-zikir dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ta'awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang disyariatkan, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini boleh dilakukan dan inilah pengobatan yang diridhai Allah Ta’ala, serta benar-benar bisa diharapkan kesembuhannya dengan izin-Nya[33].

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,"an-Nusyrah adalah (cara) menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir, yang ini ada dua macam:

(pertama): menghilangkan sihir dengan sihir yang semisalnya (dengan bantuan dukun/tukang sihir). Inilah yang termasuk perbuatan syaitan (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas), karena sihir itu termasuk perbuatannya, maka (ini dilakukan dengan cara) yang melakukan pengobatan (dukun/tukang sihir) dan si pasien melakukan pendekatan diri kepada syaitan sesuai dengan yang diinginkan syaitan tersebut, (agar) kemudian syaitan tersebut menghilangkan sihir dari si pasien.

Yang kedua: menghilangkan sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an dan zikir-zikir dari sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), ta'awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), do'a-do'a, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini (hukumnya) boleh bahkan dianjurkan (dalam Islam)"[34].

Larangan penggunaan sihir ini juga berlaku dalam perkara-perkara lain, meskipun perkara itu dianggap baik oleh sebagian orang, misalnya mendekatkan/menguatkan hubungan cinta pasutri, mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, dan lain sebagainya.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika ditanya tentang hukum menjadikan harmonis hubungan suami-istri dengan sihir, beliau menjawab: "Ini (hukumnya) diharamkan (dalam Islam) dan tidak boleh (dilakukan), ini disebut al-Athfu (mendekatkan), sedangkan sihir yang digunakan untuk memisahkan (suami-istri) disebut ash-Sharfu (memalingkan), dan ini juga diharamkan (dalam Islam). Bahkan terkadang (perbuatan) ini bisa jadi (hukumnya sampai pada) kekafiran dan syirik (menyekutukan Allah). Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}

"…Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat"(QS al-Baqarah:102)"[35].

Penutup

Demikianlah penjelasan tentang sihir dan perdukunan, dan pengaruh buruknya dalam merusak tauhid dan keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap muslim yang ingin menjaga keutuhan imannya kepada Allah Ta’ala untuk menjauhi bahkan memerangi semua bentuk praktek sihir dan perdukunan, serta melarang keras dan menasehati orang lain yang masih terpengaruh dengan para dukun dan tukang sihir untuk menjauhi mereka.

Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari firman Allah Ta’ala berikut,

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا، إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh (yang nyata) bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanyalah (ingin) mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala" (QS Faathir:6).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Jumadal tsaniyah1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab "Taisiirul Kariimir Rahmaan" (hal. 406).

[2] Kitab "Fathul Qadiir" (4/77).

[3] HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

[4] Lihat kitab "al-'Aqiidatul Islaamiyyah" (hal. 33-34) tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

[5] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).

[6] Dinukil oleh imam al-Bagawi dalam "Ma'aalimut tanziil" (6/135) dan Ibnul Jauzi dalam "Zaadul masiir (6/149).

[7] Lihat kitab "Ma'aalimut tanziil" (6/135).

[8] Dinukil oleh imam asy-Syaukani dalam tafsir beliau "Fathul Qadiir" (2/466).

[9] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/680).

[10] Lihat "Tafsir Ibnu Katsir" (1/416).

[11] Meskipun yang lebih tepat disebut "ora normal" (tidak normal).

[12] Lihat kitab "Zaadul masiir" (1/122).

[13] Kitab "al-Jaami' liahkaamil Qur'an' (19/28).

[14] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam "Ash-Shahiihah" (no. 3387).

[15] Kitab "Fathul Majiid" (hal. 356).

[16] HSR al-Bukhari (no. 4424).

[17] HSR al-Bukhari (no. 5429) dan Muslim (no. 2228).

[18] Lihat kitab "Fathul Majiid" (hal. 353) dan "at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid" (hal. 318).

[19] Lihat kitab "at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid" (hal. 317) dan kitab "Hum laisu bisyai" (hal. 4).

[20] Kitab "al-Jaami' liahkaamil Qur'an' (7/75).

[21] Kitab "Taisiirul Kariimir Rahmaan" (hal. 273).

[22] Lihat kitab "Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah" (hal. 5).

[23] Lihat kitab "Fathul Majiid" (hal. 354) dan "at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid" (hal. 320).

[24] Lihat kitab "Taisiirul 'Aziizil Hamiid" (hal. 358), "at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid" (hal. 320) dan kitab "Hum laisu bisyai" (hal. 4).

[25] Lihat kitab "Syarhu shahiihi Muslim" karya imam an-Nawawi (14/227).

[26] HSR Muslim (no. 2230).

[27] Lihat kitab "Taisiirul 'Aziizil Hamiid" (hal. 358), "at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid" (hal. 320) dan kitab "Hum laisu bisyai" (hal. 4).

[28] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam "Ash-Shahiihah" (no. 3387).

[29] Kitab "Fathul Majiid" (hal. 356).

[30] Lihat kitab "Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah" (hal. 11).

[31] Lihat kitab "Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah" (hal. 11-12).

[32] HR Abu Dawud (no. 3868), Ahmad (3/294) dan al-Hakim (4/464), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.

[33] Lihat kitab "Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah" (hal. 12) dan kitab "Hum laisu bisyai" (hal. 17).

[34] Kitab "I'laamul muwaqqi'iin" (4/396).

[35] Kitab "Majmu'u fataawa wa rasa-il syaikh Ibnu 'Utsaimin" (2/143).

Soal-127: Bapak Mertua Itu Mahrom?

Posted: 28 Jun 2010 01:00 AM PDT

Bolehkah seorang wanita berjabat tangan dengan bapak mertua?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Soal-126: Tata Cara Pengucapan Shollu fi Buyutikum

Posted: 27 Jun 2010 07:00 PM PDT

Bagaimanakah tata cara dalam pengucapan “shollu fii buyuutikum (sholatlah di dalam rumah-rumah kalian)” pada saat hujan? hujan yang bagaimanakah yang disyariatkan untuk membaca tersebut?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Minggu, 27 Juni 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Soal-125: Hukum Doa Saat Sujud Dengan Bahasa Indonesia

Posted: 27 Jun 2010 01:00 AM PDT

Apakah boleh ketika sujud dalam sholat membaca doa dengan bukan bahasa arab?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Soal-124: Tentang Pengertian Jilbab

Posted: 26 Jun 2010 07:00 PM PDT

Apakah jilbab harus menjulur sampai ke lutut?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Mengapa Hati Ini Masih Merasa Iri?

Posted: 26 Jun 2010 06:00 PM PDT

Pernah mungkin kita mendengar kisah dua orang tetangga dekat bisa saling bunuh. Penyebabnya karena yang satu buka toko dan lainnya pun ikut-ikutan. Akibat yang satu merasa tersaingi, akhirnya ada rasa iri dengan kemajuan saudaranya. Tetangga pun tidak dipandang. Awalnya rasa iri dipendam di hati. Namun karena semakin hangat dan memanas, akhirnya berujung pada pertikaian yang berakibat hilangnya nyawa. Sikap seperti ini pun mungkin pernah terjadi pada kita. Namun belum sampai parah sampai gontok-gontokan. Rasa iri tersebut muncul kadangkala karena persaingan. Sikap iri semacam ini jarang terjadi pada orang yang usahanya berbeda. Jarang tukang bakso iri pada tukang becak. Orang yang saling iri biasanya usahanya sama. Itulah yang biasa terjadi. Tukang bakso, yah iri pada tukang bakso sebelah. Si empunya toko sembako iri pada orang yang punya toko yang semisal, dan seterusnya.

Perlu diketahui bahwa iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat, itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

ان الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود

"Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat."[1]

Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

"Janganlah kalian saling hasad (iri), janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi (saling mendiamkan/ menghajr). Jadilah kalian bersaudara, wahai hamba Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hasad Bisa Terjadi Pada Orang Beriman

Hasad bisa saja terjadi pada orang-orang beriman. Hal ini dapat kita lihat dalam kisah Nabi Yusuf dengan suadara-saudaranya. Sampai-sampai ayah Yusuf (Ya'qub) memerintahkan pada Nabi Yusuf agar jangan menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya agar tidak membuat mereka iri. Allah Ta'ala berfirman,

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)

Lalu lihatlah bagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf.

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

"(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata."(QS. Yusuf: 8). Lihatlah bagaimana hasad pun bisa terjadi di antara orang beriman, bahkan di antara sesama saudara kandung.

Hasad (Iri) Tidak Ada Untungnya

Patut kita renungkan bersama bahwa rasa iri sebenarnya tidak pernah ada untungnya sama sekali. Yang ada hanya derita di dalam hati. Orang yang hasad pada saudaranya sama saja tidak suka pada ketentuan atau takdir Allah. Karena orang yang hasad tidak suka atas ketentuan Allah pada saudaranya. Padahal Allah yang menakdirkan saudaranya jadi kaya, saudaranya punya kedudukan, saudaranya sukses dalam bisnis, dan lainnya. Orang yang hasad sama saja menentang ketentuan ini. Allah Ta'ala berfirman,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az Zukhruf: 32). Padahal Allah yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya.

Orang yang hasad sama saja dengan orang yang menzholimi saudaranya. Oleh karena itu, orang yang didengki (dihasad) akan mendapatkan manfaat dari orang yang hasad di akhirat kelak. Kebaikan orang yang hasad akan diberikan pada orang yang didengki (dihasad) dan kejelekan orang yang didengki (dihasad) akan beralih pada orang yang hasad. Bisa terjadi seperti ini karena orang yang hasad layaknya orang yang menzholimi orang lain. Sehingga penyelesaiannya dengan jalan seperti itu. Lebih-lebih lagi jika hasad tadi diteruskan dengan perkataan, perbuatan dan ghibah (menggunjing), tentu akibatnya lebih parah.[2]

Itu tadi adalah akibat di akhirat. Sedangkan di dunia, orang yang hasad pun menderitakan berbagai kerugian. Jika orang yang ia hasad terus mendapatkan nikmat, hatinya akan semakin sedih dan terus seperti itu. Bulan pertama, ia hasad karena omset saudaranya meningkat 50 %, ini kesedihan pertama. Jika bulan kedua meningkat lagi, ia pun akan semakin sedih. Begitu seterusnya, orang yang hasad tidak pernah mendapatkan untung, malah kesedihan yang terpendam dalam hati yang ia peroleh waktu demi waktu.

Cara Mengatasi Penyakit Hasad

Agar kita tidak terjerumus dalam penyakit hati yang satu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan, di antaranya:

Pertama: Pertebal iman dan rasa yakin pada takdir Allah, tentu saja dengan terus menambah ilmu.

Kedua: Mengingat akibat hasad yang berdampak di dunia maupun di akhirat.

Ketiga: Selalu bersyukur dengan yang sedikit. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

"Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak." (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

Keempat: Selalu memandang orang yang di bawahnya dalam masalah dunia. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

"Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain diberi kelebihan harta dan fisik [atau kenikmatan dunia lainnya], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya." (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963)

Dalam hadits lain disebutkan,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

"Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu." (HR. Muslim no. 2963)

Kelima: Banyak mendoakan orang lain yang mendapatkan nikmat dalam kebaikan karena jika kita mendoakannya, kita akan dapat yang semisalnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

"Do'a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do'a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang bertugas mengaminkan do'anya kepada saudarany). Ketika dia berdo'a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang semisal dengannya." (HR. Muslim no. 2733)

Setelah mengetahui hal ini, masihkah ada iri pada saudara kita? Semoga Allah memberi taufik untuk terhindar dari penyakit yang satu ini. Amin, Yaa  Mujibas Saailin.

Panggang-GK, 29 Jumadil Awwal 1431 H (13/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Amrodhul Qulub wa Syifauha, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H

[2] Lihat penjelasan Syaikh Musthofa Al 'Adawi dalam kitab Fiqhul Hasad, hal. 47, Darus Sunnah, tahun 1415 H.