Jumat, 29 April 2011

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Keutamaan Dakwah Ilallah

Posted: 29 Apr 2011 05:00 PM PDT

Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya." Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, "Dimanakah Ali bin Abi Thalib?". Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya." Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, "Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?". Beliau menjawab, "Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentang perawi hadits :

Sahl bin Sa'ad bin Malik bin Khalid Al Anshari Al Khadzraji As Sa'idi Abul 'Abbas, beliau dan ayah beliau merupakan shahabat yang masyhur, banyak dikenal. Meninggal pada tahun 88 H, ada yang mengatakan setelah tahun tersebut, ada pula yang mengatakan pada tahun 100 H.

Penjelasan Hadits :

1.       Keutamaan 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, yaitu bahwasanya Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam mempersaksikannya sebagai seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ahlus sunnah meyakini keutamaan 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, juga para ahlul bait yang beriman dan beramal shalih, begitu pula dengan shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya dan istri-istri beliau, tanpa bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap mereka (juga tanpa bersikap meremehkan kedudukan mereka –pent).

2.       Hadits tersebut mengandung dua pertanda nubuwwah bagi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

Pertama, kejadian yang menimpa 'Ali bin Abi Thalib pada hari tersebut, yaitu sakitnya kedua mata beliau. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan, dengan izin Allah, penyakit tersebut hilang seketika.

Kedua, berita dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwasanya Allah akan memenangkan mereka dengan kedua tangan-Nya, maka benar-benar kaum muslimin dimenangkan oleh Allah Ta'ala. Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ghaib, akan tetapi Allah-lah yang membukakan beberapa hal ghaib kepada beliau. Maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pun kemudian memberitakan hal tersebut.

3.       Jihad merupakan bagian dari syari'at Islam, dalam rangka menolong agama dan dakwah kepada Islam. Disyariatkan untuk berdakwah terlebih dahulu sebelum memulai jihad, apabila mereka kemudian pasrah dan masuk Islam, maka tujuan jihad telah tercapai. Namun apabila mereka enggan masuk Islam, diambillah jizyah. Apabila mereka masih juga enggan untuk membayar jizyah, maka kaum muslimin memohon pertolongan kepada Rabbnya dan memerangi mereka. Adapun jika dakwah Islam telah sampai namun mereka tidak konsisten menerimanya, bahkan mengumpulkan pasukan untuk memerangi kaum muslimin, maka mereka pun diperangi. Sebagaimana penyerbuan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam atas Bani Musthaliq.

4.       Hadits ini menjelaskan keutamaan dakwah kepada Allah Ta'ala, yaitu bahwasanya menunjuki seseorang kepada Islam jauh lebih baik pahalanya daripada harta dan perbendaharaan dunia yang paling baik sekalipun, yang dalam hadits tersebut diungkapkan dengan unta merah. Hal ini dikarenakan kenikmatan dunia adalah fana, sedangkan apa yang ada di sisi Allah kekal dan tidak fana lagi habis.

5.       Hidayah terbagi menjadi dua, yaitu hidayah mutsbitah, yaitu yang ditetapkan dan dapat diberikan oleh makhluq, dan hidayah manfiyyah, yang tidak bisa diberikan oleh makhluq.

Pertama, hidayah yang ditetapkan dapat diberikan oleh makhluq ialah hidayah irsyad wa ad-dalalah, bimbingan dan petunjuk. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad, benar-benar dapat menunjuki mereka menuju jalan yang lurus", yaitu dalam hal menunjuki dan membimbing mereka. Hal ini mengikuti teladan dari Rasul, para pewarisnya dari kalangan ulama, yang mereka senantiasa membimbing dan menjelaskan pada manusia hukum-hukum agama dan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua, hidayah taufiq dan ilham, inilah yang hanya dimiliki oleh Allah Ta'ala, tidak ada seorang makhluqpun yang memilikinya. Sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki".

6.       Keutamaan dakwah ilallah amatlah banyak, tersebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah, diantaranya :

a.     Dakwah merupakan salah satu ciri yang hakiki bagi siapa saja yang mengaku mengikuti Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnul Qoyyim berkata, "Mengenai ayat, 'Aku dan orang-orang yang mengikutiku berada di atas bashirah', dijelaskan oleh para ulama bahwasanya "orang-orang yang mengikutiku" diathafkan (istilah nahwu yang bermakna menghubungkan dengan kata sambung "dan", menunjukkan kesetaraan -pent) secara marfu' dengan maksud, yaitu aku berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah, begitu pula dengan orang-orang yang mengikutiku, mereka juga berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah. Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mengikuti beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, ialah para da'i yang menyeru kepada Allah di atas bashirah. Maka barangsiapa yang tidak termasuk diantara mereka, ia bukanlah pengikut Nabi secara hakiki, melainkan hanya sebatas penyandaran dan pengakuan belaka."

b.    Allah Ta'ala memuji para da'i yang menyeru kepada kebaikan, dengan istilah tidak ada perkataan yang paling baik dari perkataan mereka. Allah Ta'ala berfirman, "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, "Maka para da'i tersebut memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukanlah termasuk golongan ini orang-orang yang menyeru kepada yang ma'ruf akan tetapi tidak mengerjakannya, atau mencegah dari yang munkar akan tetapi ia sendiri mengerjakannya. Akan tetapi mereka menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, menyeru al khalqu (makhluq) kepada al khaaliqu (penciptanya) tabaraka wa ta'ala. Seruan ini umum mencakup siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, dan memberikan petunjuk kepada orang lain.

Beliau rahimahullah kembali menjelaskan, "Berkata Abdurrazzaq, dari Ma'mar, dari Al Hasan Al Bashri, bahwa beliau membaca ayat tersebut kemudian berkata, "Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai, Allah telah menerima dakwah mereka, dan mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, dan mereka beramal shalih, dan berkata 'Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang muslimin', inilah khalifah Allah"

c.     Orang-orang yang berdakwah kepada Allah, mereka adalah golongan yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan di hari ketika manusia berkumpul dalam keadaan ada yang bahagia dan ada yang sedih. Allah Ta'ala berfirman, "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al Ashr :1-3).

Maka orang-orang yang beruntung ialah mereka yang beriman kepada Allah baik sebagai Rabb Pencipta alam semesta, maupun sebagai Ilah yang berhak diibadahi semata, dan beramal shalih yaitu amal yang dikerjakan ikhlas karena Allah semata, dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, kemudian bersegera dalam menyempurnakan dan memperbaiki orang lain dengan menyeru manusia kepada al haq, yaitu setiap yang disyariatkan oleh Allah, kemudian bersabar di atas al haq tersebut, baik bersabar ketika mengerjakan ketaatan, bersabar dalam menjauhi keburukan, dan bersabar ketika ditimpa musibah.

Kebalikan dari golongan yang beruntung adalah yang merugi, diantara mereka terdapat golongan yang merugi secara mutlaq, yaitu orang kafir, dan ada pula orang-orang yang tingkat kerugiannya berada di bawahnya yaitu orang-orang yang bertauhid namun bermaksiat. Mereka akan diadzab sesuai dengan kadar kemaksiatan yang mereka perbuat. Tidak ada khilaf dalam masalah ini selain golongan Khawarij, Mu'tazilah, dan Murji'ah. (mohon Ustadz tambahkan penjelasan tentang pandangan Khawarij, Mu'tazilah, dan Murji'ah dalam masalah ini)

d.    Pahala dakwah ilallah akan memberi manfaat yang terus menerus, selama Allah berkehendak, dan tidak terputus dengan kematian sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, "Jika manusia mati terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya" (HR. Muslim). Maka ilmu yang disebarkan oleh seorang da'i dalam rangka menyeru kepada Allah, baik melalui majelis ta'lim, atau ketika bergaul dengan manusia, pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat kelak.

e.     Allah Ta'ala menjadikan seluruh makhluq di langit dan bumi, semuanya memohonkan ampun bagi para da'i ilallah, sampai ikan-ikan di lautan sekalipun. Inilah ganjaran atas amalan mereka menyebarkan ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, hingga ikan-ikan di lautan turut memohonkan ampun bagi mereka"

f. Allah Ta'ala menetapkan pahala bagi para da'i ilallah, pahala yang besarnya semisal dengan mereka yang meneladani para da'i tersebut dalam kebaikan, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang memelopori suatu kebaikan (yang telah ada contohnya dari Nabi -pent) dalam Islam, baginya pahala semisal dengan orang yang melakukannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diperoleh orang yang melakukan tersebut". Dalam hadits lainnya, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan baginya pahala yang semisal dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut".

Diterjemahkan dari "Ta'liqat 'ala Arba'ina Haditsan fi Manhajis Salaf" Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=297&page=24&main=7)

Penerjemah: Yhouga Ariesta

Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 28 April 2011

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Nasehat Bagi Si Sakit

Posted: 28 Apr 2011 05:00 PM PDT

Mush'ab bin Sa'd menuturkan: Abdullah bin Umar -radhiyallahu'anhu- menemui Ibnu Amir -seorang Gubernur Bashrah-, beliau datang untuk menjenguknya yang sedang menderita sakit. Maka Ibnu Amir pun berkata, "Tidakkah engkau mendoakan kebaikan untukku kepada Allah, wahai Ibnu Umar?". Ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak diterima sholat tanpa bersuci demikian juga sedekah dari harta rampasan (baca: hasil korupsi).' sedangkan engkau sekarang ini menjadi penguasa Bashrah." (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [3/8-9])

Hadits yang agung ini mengandung pelajaran di antaranya:

  1. Wajib berada dalam keadaan suci untuk sahnya sholat. Bahkan, umat Islam telah sepakat bahwa thaharah (suci) merupakan syarat sah sholat (lihat Syarh Muslim [3/8])
  2. Sahabat Ibnu Umar bermaksud menasehati seorang gubernur Bashrah -di saat dia terbaring sakit- agar bertaubat dari penyimpangan yang dilakukannya dengan menyampaikan hadits ini. Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa doa yang dipanjatkan untuk kebaikan orang fasik adalah doa yang tidak mungkin dikabulkan (lihat Syarh Muslim [3/8])
  3. Hendaknya menjenguk orang yang sakit dan menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan dirinya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma
  4. Teladan yang menunjukkan bahwa seorang ulama boleh menemui penguasa dalam rangka menasehatinya, dan hal itu bukanlah perkara yang tercela atau dinilai sebagai perbuatan menjilat penguasa
  5. Kasih sayang kepada sesama muslim -terlebih lagi kepada penguasa mereka- yang diwujudkan dalam bentuk nasehat -menginginkan kebaikan- bagi mereka. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Agama adalah nasehat." Para sahabat bertanya, "Untuk siapa?". Maka beliau menjawab, "Untuk -kesucian- Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan untuk kebaikan para pemimpin kaum muslimin serta rakyatnya." (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari, lihat Syarh Muslim [2/116]). Di antara bentuk nasehat itu adalah sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar. Secara fisik, beliau menjenguknya ketika menderita sakit. Adapun secara ma'nawi, maka beliau pun menasehatinya dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, sebuah teladan yang demikian mengagumkan…
  6. Memberikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang tepat. Di antara kata-kata yang paling baik digunakan untuk menyampaikan nasehat adalah hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
  7. Hadits ini menunjukkan betapa besar pengagungan generasi salaf terhadap hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan hadits itulah yang menjadi syi'ar kehidupan mereka sehingga dengan mudahnya hadits-hadits itu terlontar dalam percakapan di antara mereka
  8. Hendaknya seorang da'i memperhatikan kondisi mad'u -objek dakwah-nya. Apabila mereka membutuhkan bantuannya -sedangkan dia mampu- maka semestinya dia mengulurkan bantuan untuk mereka.
  9. Hadits ini menunjukkan bahwa semata-mata niat baik tidak bisa menjadikan amalan yang salah menjadi benar atau diterima. Orang yang dengan ikhlas ingin mengerjakan sholat tapi tidak suci, maka sholatnya tidak sah seikhlas apapun niatnya. Demikian juga orang yang bersedekah dengan ikhlas, maka sedekahnya tidak diterima jika hartanya berasal dari harta hasil rampasan (baca: hasil korupsi) seikhlas apapun niatnya. Islam tidak mengenal kaidah tujuan menghalalkan segala cara.
  10. Boleh meminta orang lain (yang salih) untuk mendoakan kebaikan untuk kepentingan pribadi, meskipun yang lebih utama adalah berdoa sendiri kepada Allah.
  11. Apa yang diinginkan seseorang belum tentu sesuatu yang terbaik baginya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Syura dalam Pandangan Islam dan Demokrasi

Posted: 28 Apr 2011 02:00 AM PDT

Sebagian kaum muslimin mengidentikkan antara syura dan demokrasi, menganggap sama antara keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga diakui dalam sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara ringkas dan nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.

Definisi Syura

Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu'jam Maqayis al-Lughah 3/226].

Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].

Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].

Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].

Pensyari’atan Syura dalam Islam

Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].

Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [Al Baqarah : 233].

Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-'Azhim 1/635].

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.

Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali 'Imran : 159].

Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. [Asy Syura : 36-39].

Maksud firman Allah ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-'Azhim 7/211].

Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar'iyah hlm. 126].

Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.

Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.

Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.

Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.

Urgensi dan Faedah Syura

Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan hukum dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.

Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-Farid hlm. 43].

Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :

a.        Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.

b.        Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,

مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ

“Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].

c.         Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”

d.        Syura memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.

12 Perbedaan antara Syura dan Demokrasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi]. Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.

Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :

a.        Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].

Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].

b.        Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.

Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].

c.         Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].

d.        Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.

Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].

Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].

e.        Syura yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.

Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].

f.          Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.

g.        Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.

Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].

h.        Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32].

i.          Syura bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32].

j.          Kriteria ahli syura sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al 'Umdah fi I'dad al-'Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33].

Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى

Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal [HR. Muslim: 974].

Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam ['Umdat at-Tafsir 1/383-384].

k.         Ahli syura mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al 'Umdah fi I'dad al-'Uddah 112].

Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.

l.          Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran dan hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.

Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila al-Quran dan hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.

Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama [Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].

Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.

Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].

Meskipun ada persamaan antara syura dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.

Wallahu al-Muwaffiq.

Sumber rujukan :

  1. Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
  2. Asy Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din Muhammad ‘Atr
  3. Fitnah ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-’Alawi asy-Syinqithi
  4. Makalah Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
  5. Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Kajian Motivasi “Tips Kuliah Sambil Ngaji” (Yogyakarta, 30 April 2011)

Posted: 27 Apr 2011 10:33 PM PDT

Hadirilah Kajian Motivasi :

Tema: Tips Kuliah Sambil Ngaji

Pemateri: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T (mahasiswa S2 King Saud University, Riyadh)

Tempat: Masjid Al-Ashri Pogung Rejo

Hari : Sabtu, 30 April 2011

Waktu: 08.00 – 09.30 WIB

Terbuka untuk Umum (Putra & Putri)

Wajib bagi santri Ma’had Al-Ilmi

Penyelenggara : Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta

Rabu, 27 April 2011

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kajian Umum: “Bom Bunuh Diri, Jihadkah?” (Yogyakarta, 7 Mei 2011)

Posted: 27 Apr 2011 03:28 PM PDT

Hadirilah Kajian Umum dengan tema.

"BOM BUNUH DIRI, JIHADKAH?"
(Meluruskan Pemahaman Syariat Jihad Kepada Kaum Muslimin)

Pemateri:
Ustadz Mahful Safaruddin, Lc.
(Pengajar Ponpes Islam Al Irsyad Tengaran, Salatiga)

Insya Allah diselenggarakan pada:
Sabtu, 7 Mei 2011
Pukul 09.00 WIB – selesai
Di Musholla Teknologi (Mustek) Fak. Teknik UGM, Utara RS. Dr. Sardjito, Yogyakarta

Gratis, terbuka untuk Umum
Putra & Putri

Informasi:

  • 0857 2942 8241 (Putra)
  • 0857 2942 8242 (Putri)

Penyelenggara:

  • Forum Kajian Islam Mahasiswa (FKIM)
  • Keluarga Mahasiswa Diploma Teknik Elektro (KMDTE) UGM
  • Keluarga Mahasiswa Diploma Teknik Mesin (KMDTM) UGM

Kajian Rutin Masjid Al Hasanah (Yogyakarta)

Posted: 27 Apr 2011 03:25 PM PDT

Hadirilah Kajian Rutin Masjid Al Hasanah (utara Mirota Kampus UGM) Yogyakarta

Tema 1:
"TAZKIYATUN NUFUS"
Pemateri: Ustadz Amir As Soronji, B.A.
Setiap Senin, ba'da Isya' – 20.30 WIB (mulai 25 April 2011)

Tema 2:
"JIBRIL BERTANYA, RASULULLAH MENJAWAB"
Pemateri: Ustadz Afifi Abdul Wadud
Setiap Rabu, ba'da Isya' – 20.30 WIB (mulai 27 April 2011)

Ikuti juga kajian rutin yang diselenggarakan di Masjid Al Hasanah lainnya.

Tema 3:
"BAHJATUN NADZIRIN"
(Kajian Hadits, Syarh Riyadhus Shalihin)
Pemateri: Ustadz Zaid Susanto, Lc.
Setiap Ahad, ba'da Maghrib – Isya'

Tema 4:
"TAISIRUL 'ALAM"
(Kajian Fiqih, Syarh 'Umdatul Ahkam)
Pemateri: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Setiap Selasa, ba'da Maghrib – selesai

Gratis, terbuka untuk Umum

Kajian dapat didengarkan juga di
www.radiomuslim.com

Penyelenggara:
Takmir Masjid Al Hasanah (utara Mirota Kampus UGM) Yogyakarta

Selasa, 26 April 2011

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Islam Di Negeri Jiran

Posted: 26 Apr 2011 05:00 PM PDT

Negara ini merupakan negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia di sebelah barat, tepatnya di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Ulasan sekilas ini akan membahas tentang Negeri Jiran, Malaysia. Tepatnya, kehidupan keislaman di negeri Malaysia.

Secara akar budaya, mayoritas warga asli Malaysia adalah keturunan Melayu. Warga Malaysia keturunan India dan Cina berjumlah lebih sedikit dibandingkan warga Melayu.

Peraturan ditegakkan, fasilitas ditambahkan

Semaraknya agama Islam di Malaysia sangat didukung oleh peran serta pemerintah dalam penetapan peraturan dan penyediaan fasilitas-fasilitas ibadah dan keagamaan yang memadai.

Di Malaysia, pembangunan setiap masjid harus memperoleh izin dari pemerintah. Jadi, Anda jangan heran bila dalam sebuah kompleks perumahan hanya ada satu masjid. Walhasil, kegiatan keislaman pun berpusat di masjid tersebut, mulai dari shalat berjamaah, sekolah agama untuk anak-anak sekolah rendah (di Indonesia, "sekolah rendah" disebut dengan "sekolah dasar"), hingga pengajian rutin ibu-ibu.

Sedikit berbicara tentang sekolah agama, di Malaysia, warga negara Malaysia maupun warga negara asing yang beragama Islam boleh memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah kerajaan (sekolah negeri) atau sekolah swasta Islam. Bedanya, di sekolah kerajaan, anak-anak tidak mendapat pelajaran Bahasa Jawi dan Bahasa Arab. Untuk mengisi kekurangan itu, para orang tua biasanya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan biaya yang sangat terjangkau, sekitar pukul 03.00 hingga pukul 05.30 sore, anak-anak bisa mendapat beragam pelajaran agama, seperti: akidah, fikih, bahasa Arab, dan lain-lain. Sebagaimana sekolah formal, sekolah agama yang berbentuk nonformal ini membuka kelasnya setiap Senin hingga Jumat.

Mazhab negara dan mufti negeri

Di Malaysia, tidak sembarang orang bisa bebas berbicara dan menetapkan keputusan agama. Untuk agama Islam, pemerintah telah mengatur bahwa Malaysia memiliki seorang mufti (pemberi fatwa). Selain itu, setiap negara bagian juga memiliki mufti. Pemberian fatwa keagamaan Islam hanya berhak dilakukan oleh mufti.

Salah satu contoh peran mufti adalah dalam penetapan tanggal 1 Syawal. Penetapan 1 Syawal hanya berhak dilakukan oleh mufti negeri. Oleh karena itu, di Malaysia, tidak kita jumpai masyarakat yang berhari raya Idul Fitri pada hari yang berbeda-beda. Semuanya berada dalam satu komando pemerintah.

Sebuah negara bagian yang bernama "Perlis"

Pemerintah Malaysia memiliki sistem kontrol yang baik dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dengan sebab itulah, alhamdulillah, kaum muslimin di Malaysia dapat menyantap makanan dan minuman dengan tenang, karena pemerintah Malaysia sangat ketat menyortir antara makanan halal dan makanan haram. Di hypermart, misalnya, makanan dan minuman yang haram dikonsumsi bagi umat Islam akan diletakkan dalam satu area tersendiri dan diberi peringatan "TIDAK HALAL".

Selain itu, kawasan judi pun terlarang untuk didatangi oleh umat Islam, sebagaimana di sebuah kawasan judi yang cukup besar di daerah wisata Genting Highland. Setiap orang yang ingin memasuki area judi di sana akan diperiksa identity card-nya. Hanya orang nonmuslim yang boleh masuk ke sana. Bahkan, saking ketatnya menjaga kehidupan keislaman di negerinya, pemerintah Malaysia menangkap 100 pasangan muslim yang merayakan Valentine Day pada Februari 2011 lalu. (link: http://www.antaranews.com/berita/246191/malaysia-tahan-muslim-yang-rayakan-valentine)

Tak ketinggalan pula sistem negara yang menetapkan raja sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Dalam struktur kenegaraan Malaysia pun, terdapat tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan. Setiap negara bagian juga memiliki raja, menteri besar (pemimpin negara bagian), dan mufti. Hampir seluruh negara bagian menetapkan Mazhab Syafi’i sebagai mazhab negerinya. Akan tetapi, ada satu negara bagian yang menetapkan "Ahlus Sunnah wal Jamaah As-Salafiyyah" sebagai mazhab negerinya. Dialah negeri Perlis. (link: http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2010&dt=0613&pub=Utusan_Malaysia&sec=Dalam_Negeri&pg=dn_11.htm)

Bagaimana para perantau bisa lebih dekat kepada Islam?

Warga Negara Indonesia (WNI) yang meneruskan studi di Malaysia cukup banyak. Komunitas masyarakat Indonesia pun tumbuh sumbur di berbagai negara bagian. Bukan hanya para mahasiswa, namun juga kumpulan ibu-ibu dan anak-anak. Kota tempat tinggal kami, Tronoh, pun demikian adanya.

Ada sebersit hikmah bagi para perantau yang menjalani hidup di kota ini. Sebagian dari mereka justru menjadi lebih dekat kepada Islam semenjak merantau di Negeri Jiran ini. Kota kecil yang tidak ramai, pusat perbelanjaan yang jauh terletak di pusat kota, dan rutinitas yang terfokus pada kegiatan kampus semata, membuat waktu luang para perantau bisa dimanfaatkan untuk lebih dekat kepada Islam yang murni. Itulah Islam yang diambil dari kemurnian Alquran dan kemuliaan hadis-hadis nabawiyyah, yang disandingkan dengan pemahaman lurus para sahabat radhiallahu ‘anhum.

Alhamdulillah, ada salah seorang mahasiswa S3 bidang keteknikan yang juga mumpuni dalam bidang agama Islam. Beliaulah yang membabat alas, sehingga rekan-rekan lain bisa berkumpul dua pekan sekali untuk mengkaji Kitabullah dan Sunnah nabawiyyah. Alhamdulillah, atas hidayah Allah kemudian atas usaha beliau, tak sedikit dari kawan-kawan Indonesia di sini yang malah mengenal manhaj salafi sejak berada di sini. Tak sedikit pula kawan-kawan Malaysia yang mendapat cahaya manhaj salafi dengan adanya kajian-kajian Islam yang disampaikan oleh mahasiswa S3 tersebut.

Meski kini beliau telah kembali ke Tanah Air, Indonesia, tunas dakwah salafiah yang beliau tanam masih tetap berusaha dijaga oleh rekan muslimin Malaysia maupun Indonesia yang masih berada di sini. Tunas dakwah itu pun kini telah menjalar ke lingkungan para ibu-ibu Indonesia dan muslimah-muslimah Malaysia.

Akhirulkalam, semoga keistiqamahan selalu menyertai kita, di mana pun kita berada.

Malaysia, 12 Jumadil Ula 1432 H (16 April 2011),

Penulis: Abu Asiyah dan Ummu Asiyah

Artikel www.muslim.or.id

Soal-178: Setiap Orang Bisa Meruqiyah?

Posted: 25 Apr 2011 08:16 PM PDT

Apakah setiap orang bisa meruqiyah dirinya atau orang lain? adakah kewajiban kita berdakwah kepada golongan jin?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Senin, 25 April 2011

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Soal-177: Shalat Dhuha Secara Terus-menerus?

Posted: 24 Apr 2011 09:28 PM PDT

Apakah Rosulullah melakukan shalat dhuha secara terus-menerus? bagaimana waktu dan baiknya?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Keutamaan Orang Kaya Yang Bersyukur

Posted: 24 Apr 2011 05:00 PM PDT

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata:

جاء الفقراء إلى النبي فقالوا: يا رسول الله، ذهب أهل الدثور من الأموال بالدرجارت العلا والنعيم المقيم، يصلون كما نصلي، ويصومون كما نصوم، ولهم فضل من أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون، وليست لنا أموال…وفي رواية مسلم: فقال رسول الله في آخر الحديث: “ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء” (متفق عليه).

Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Ta'ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…“.

Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya1.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang kaya yang memanfaatkan kekayaannya untuk meraih takwa kepada Allah Ta'ala, dengan menginfakkan hartanya di jalan yang diridhai-Nya.

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Ta'ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”2.

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Mensyukuri nikmat harta yang Allah Ta'ala berikan kepada kita adalah dengan mengakui dan meyakini dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah Ta'ala semata, menyebut-nyebut dan menampakkan nikmat tersebut secara lahir, serta menggunakannya di jalan yang diridhai-Nya3.

- Allah Ta'ala memuji orang-orang yang memiliki harta tapi tidak membuat mereka lalai dari mengingat Allah Ta'ala dan beribadah kepada-Nya, dalam firman-Nya,

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Ta'ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Ta'ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”4.

- Imam al-Qurthubi berkata, “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta'ala) dalam ayat (di atas) ini”5.

- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta'ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Barapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta'ala, seperti Nabi Sulaiman 'alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi Ta'ala) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”6.

- Penting untuk diingatkan di sini bahwa mencintai harta dan kedudukan dunia secara berlebihan merupakan fitnah yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam jurang kebinasaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

"Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta".

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar" (QS at-Tagaabun:15)7.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 28 Muharram 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

1 HSR al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595).

2 Kitab “Fathul Baari” (3/298).

3 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 11).

4 Kitab "Tafsir Ibnu Katsir" (3/390).

5 Kitab "Tafsir al-Qurthubi" (5/156).

6 Kitab "al-Aadaabusy syar’iyyah" (3/469).

7 Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (2/507).