Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
Posted: 10 Jan 2011 04:00 PM PST Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat : 56). Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna ibadah? Syaikhul Islam mengatakan, "Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul." Beliau juga menjelaskan, "Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi." Ibnul Qayyim mengatakan, "Ibadah berporos pada lima belas patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua maka dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah sebagai berikut : Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima : wajib, mustahab/sunnah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan." Al-Qurthubi mengatakan, "Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syari'at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah ta'ala. Makna ayat tersebut (QS. Adz-Dzariyat : 56) adalah Allah ta'ala memberitakan bahwa tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Inilah hikmah penciptaan mereka." Saya katakan (Syaikh Abdurrahman), "Itulah hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syar'iyah diniyah." Al-'Imad Ibnu Katsir mengatakan, "Makna beribadah kepada-Nya yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah ta'ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan." Selesai ucapan Ibnu Katsir. Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan ayat ini (QS. Adz-Dzariyat : 56), "Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah ta'ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka." Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu mengatakan mengenai ayat ini, "Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku." Sedangkan Mujahid mengatakan, "Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang." Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam. Beliau (Ibnu Katsir) mengatakan, "Tafsiran ini didukung oleh makna firman Allah ta'ala, "Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia." (QS. Al-Qiyamah : 36). Asy-Syafi'i menjelaskan tafsiran 'sia-sia' yaitu, "(Apakah mereka Ku-biarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?!"… Sampai di sini keterangan yang kami nukil dari Fath Al-Majid. Dengan memperhatikan keterangan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa : Pertama; Ibadah adalah tujuan hidup kita Kedua; Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah Ketiga; Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi hamba-Nya yang sejati; yang tunduk dan patuh kepada Rabb penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi dunia. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin. Yogyakarta, permulaan bulan Dzulqa'dah 1429 H Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Artikel www.muslim.or.id |
Posted: 09 Jan 2011 04:00 PM PST Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta'ala. Sekarang ini kita hidup di zaman yang –katanya- serba modern. Penemuan-penemuan alat transportasi dan komunikasi menjadikan bumi yang luas ini serasa semakin sempit. Demikianlah, kehidupan peradaban manusia saat ini berada pada puncak kejayaannya. Kehidupan manusia saat ini menjadi serba mudah dan praktis. Namun sayang, kehidupan yang modern itu hanya berlaku untuk urusan duniawi saja. Sedangkan untuk urusan agama, sebagian kaum muslimin saat ini justru masih sangat primitif. Mereka masih beragama dan menganut keyakinan-keyakinan yang sama persis dengan keyakinan umat jahiliyyah yang hidup ratusan tahun yang lalu. Di antara keyakinan jahiliyyah yang masih mereka ikuti dan mereka pelihara sampai saat ini adalah keyakinan bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan dan kesaktian, sehingga bisa dipakai sebagai jimat. Kepercayaan terhadap Jimat Sebagian masyarakat kita masih memelihara kepercayaan terhadap benda-benda mati. Mereka menganggap bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan, kesaktian, atau keistimewaan yang sangat dahsyat, sehingga bisa dijadikan sebagai jimat, senjata, atau yang lainnya. Padahal, kepercayaan seperti ini hanyalah bersumber dari khurafat, khayalan, dan halusinasi semata. Keyakinan seperti ini masih mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin di negeri kita ini. Tentu kita tidak asing lagi dengan sebutan "batu akik", yang menurut sebagian orang memiliki kekuatan ghaib atau kekuatan supranatural tertentu sehingga bisa dipakai sebagai jimat atau senjata kesaktian. Bahkan kita jumpai para pedagang yang menjual jimat model ini di daerah-daerah tertentu. Atau keyakinan sebagian orang bahwa pusaka peninggalan kerajaan seperti keris, tombak, atau kereta raja memiliki kekuatan mistis tertentu yang dapat memberikan perlindungan ghaib kepada pemiliknya. Inilah realita masyarakat kita. Di tengah gemerlap modernisasi kehidupan dunia ini, ternyata masih ada orang-orang yang ketergantungan terhadap benda mati (baca: jimat) dan mendarah daging dalam kehidupannya. Sampai-sampai ketika ada yang berusaha meluruskan keyakinannya itu, dia akan kaget dan terpana dengan adanya "pemahaman baru" yang bertolak belakang dengan apa yang diyakininya selama ini. Jimat Menurut Hukum Syari'at Ironisnya, selain mempercayai jimat, mereka juga mengaku menganut ajaran agama Islam. Padahal ajaran agama Islam yang mulia ini, yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah telah begitu gamblang menjelaskan kepada umatnya tentang haramnya memakai jimat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah dengan tegas memvonis hal itu sebagai salah satu bentuk kesyirikan, dosa besar yang paling besar di sisi Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik."[1] Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat beliau untuk memotong jimat yang digantungkan di leher hewan ternak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, "Janganlah kalung yang terbuat dari tali (jimat) dibiarkan tergantung di leher unta, melainkan harus dipotong." [2] Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan mendoakan keburukan bagi orang-orang yang memakai jimat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tidak mengabulkan tujuan yang dia inginkan. Dan barangsiapa yang menggantungkan wada'ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tidak menjadikan dirinya tenang." [3] Rincian Hukum Memakai Jimat Dalil-dalil di atas –dan masih banyak lagi dalil yang lain- sungguh tegas menunjukkan bahwa memakai jimat termasuk bentuk kesyirikan. Para ulama kemudian memberikan perincian tentang hukum memakai jimat ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Memakai jimat dan sejenisnya, apabila orang yang memakainya meyakini bahwa jimat itu berpengaruh dengan sendirinya tanpa (taqdir) Allah, maka dia melakukan syirik akbar dalam tauhid rububiyyah. Karena dia meyakini bahwa ada pencipta selain Allah Ta'ala. Apabila pemakainya hanya meyakini jimat itu sebagai sebab, tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya, maka dia melakukan syirik ashghar. Karena dia telah meyakini sesuatu sebagai sebab (sarana), padahal bukan sebab. Maka dia telah menyekutukan Allah dalam menentukan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidaklah menjadikan sesuatu itu sebagai sebab." [4] Lihatlah dalam kasus jimat ini. Orang yang berakal pasti mengetahui bahwa tentu tidak ada hubungannya antara menggantungkan jimat di pojok rumah agar aman dari pencuri dan perampok. Atau antara menggantungkan jimat di leher agar terhindar dari marabahaya. Dia menggantungkan diri dan urusannya kepada sesuatu yang pada hakikatnya tidaklah dapat menimbulkan pengaruh apa-apa. Bahkan menyelamatkan dirinya sendiri pun, jimat itu tidak akan mampu. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan tentang terputusnya pertolongan Allah Ta'ala bagi orang yang memakai jimat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka dia akan digantungkan kepada sesuatu tersebut." [5] "Buktinya, Nabi Musa pun Memakai Jimat!" Sayangnya, meskipun telah jelas dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang kesyirikan pemakaian jimat, para pemuja jimat itu berdalil (lebih tepatnya: berdalih) dengan tongkat Nabi Musa 'alaihis salaam yang memiliki kesaktian sehingga bisa digunakan untuk membelah lautan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala yang artinya, "Lalu Kami wahyukan kepada Musa, 'Pukullah laut itu dengan tongkatmu!' Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar." (QS. Asy-Syu'ara [26]: 63) Maka kita sampaikan kepada mereka, "Apakah para pemuja jimat itu diperintahkan oleh Allah Ta'ala untuk memakai jimat-jimat mereka sebagaimana Allah Ta'ala memerintahkan Nabi Musa untuk memakai tongkatnya?" Maka jika mereka menjawab "Ya", berarti mereka telah mendustakan begitu banyak dalil syari'at yang sangat gamblang melarang pemakaian jimat. Namun, jika mereka menjawab "Tidak", maka berarti analogi mereka tentang pemakaian jimat dengan tongkat Nabi Musa jelas-jelas merupakan analogi yang keliru dan salah besar, karena kondisi keduanya sangat jauh berbeda. Oleh karena itu, dalih para pemuja jimat itu pada hakikatnya hanyalah dalih dan argumentasi akal-akalan saja yang digunakan untuk melawan dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syari'at. Sehingga klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat tersebut bersumber dari Allah Ta'ala -sebagaimana tongkat Nabi Musa- sehingga tidak masalah bagi kita memanfaatkannya, adalah klaim dusta atas nama Allah Ta'ala. Karena jimat-jimat tersebut adalah benda mati yang sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kesaktian sebagaimana yang mereka khayalkan selama ini. Andaikata jimat itu memang benar memiliki kekuatan, maka itu bukanlah dari Allah Ta'ala. Akan tetapi berasal dari setan yang dipuja-puja dan disembah oleh para pembuat dan pemakai jimat itu, sebagai timbal-balik atas penyembahan yang manusia lakukan kepada setan.[6] Keyakinan Seperti Ini Telah Dihapus oleh Rasulullah Kepercayaan khurafat terhadap jimat ini –yang bersumber dari masyarakat jahiliyyah zaman dahulu- sesungguhnya telah dihapus dengan diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berkhutbah pada Haji Wada', "Ketahuilah, seluruh perkara jahiliyyah terkubur di bawah kedua telapak kakiku." [7] An-Nawawi rahimahullah berkata,"Adapun perkatan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,'(Terkubur) di bawah kedua telapak kakiku', (hal ini) merupakan isyarat akan terhapusnya perkara tersebut." [8] Demikianlah, karakteristik jahiliyyah tersebut telah dihapus oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diganti dengan ajaran beliau yang berporos pada ajaran tauhid. Yaitu beribadah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada Allah Ta'ala saja, hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Ta'ala saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Dzat Yang Maha perkasa dan Maha kuasa atas segala seuatu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, "Jika Engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika Engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah." [9] Semoga Allah menyelamatkan kita dari dosa kesyirikan. Penulis: dr. M. Saifudin Hakim Artikel www.muslim.or.id [1] HR. Ahmad di dalam Al-Musnad (IV/156). Di-shahih-kan oleh Al-Albani di dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no. 492. [2] HR. Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 2115. [3] HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban. Dinilai shahih oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma' (IX/304-305). [4] Al-Qoulul Mufiid, 1/165. [5] HR. Tirmidzi no. 2072. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ghayatul Maram no. 297. [6] Disarikan dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII hal. 34-35. [7] HR. Muslim no. 3009. [8] Syarh Shahih Muslim, 4/312. [9] HR. Tirmidzi no. 2516. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar