Senin, 04 Oktober 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Memahami Arti Zuhud

Posted: 04 Oct 2010 10:00 AM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.

Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa'ad As Sa'idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu." (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)

Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]

Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur'an dan Hadits

Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta'ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir'aun yang mengatakan,

وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)

"Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." (QS. Ghafir: 38-39)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta'ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

"Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al A'laa: 16-17)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

"Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa." (HR. Muslim no. 2858)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, "Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan."[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!

Dari Sahl bin Sa'ad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

"Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air." (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia

Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.

Abu Dzar mengatakan,

الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ

"Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu."[4]

Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, "Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran."[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, "Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati."[6]

Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.

Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, "Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah."

Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, "Apa saja hartamu?" Ia pun berkata, "Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia."

Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, "Tidakkah engkau takut miskin?" Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, "Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!"

Al Fudhail  bin 'Iyadh mengatakan, "Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah 'azza wa jalla." Ia pun berkata, "Sifat qona'ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang "ghoni", yaitu selalu merasa cukup."

Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.

Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.

Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do'a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do'a tersebut adalah,

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا

"Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.

'Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, "Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah." Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.

Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.

Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas'ud, "Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia."

Al Hasan Al Bashri mengatakan, "Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, "Orang tersebut lebih baik dariku". Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.

Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, "Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh." Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]

Pengertian Zuhud yang Amat Baik

Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, "Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, "Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat." Ada pula yang memberikan pengertian, "Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang" Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,

أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

"Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah."[8]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, "Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud."[9]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak

Ada sebuah perkataan dari 'Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. 'Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, "Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …"[10]

Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, "Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –'Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih."

Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul 'Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa 'Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin 'Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

"Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?"

Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

"Wahai Abu 'Ali (yaitu Fudhail bin 'Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari 'aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku".[11]

Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H (30/05/2010), di Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma'rifah, Beirut, 1379.

[3] Idem.

[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, "Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd." (Lihat Jaami'ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami'ul Ulum wal Hikam, hal. 347)

[6] Jaami'ul Ulum, hal. 347.

[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami'ul Ulum, hal. 347-348.

[8] Disebutkan oleh Abu Nu'aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya', 9/258, Darul Kutub Al 'Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.

[9] Jaami'ul Ulum, hal. 350.

[10] Jaami'ul Ulum, hal. 350

[11] Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi' Ya'sub (penomoran halaman sesuai cetakan).

Kesabaran Seorang Da’i

Posted: 03 Oct 2010 10:00 PM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, Raja yang menguasai langit dan bumi, Penguasa yang berhak mengatur dan mengendalikan jagat raya sebagaimana yang Dia ingini. Salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi penebar rahmah, Sang penutup nabi dan rasul, yang meninggalkan umatnya di atas ajaran yang terang-benderang. Amma ba'du.

Saudaraku, semoga Allah membimbing langkah kita untuk berjalan di atas jalan-Nya, … berlalunya waktu dan pergantian generasi dari sejak masa kenabian berlalu senantiasa diwarnai dengan gelombang yang menerpa bahtera dakwah agama yang hanif ini. Gelombang yang menghempaskan hati dan tubuh para penyeru kebenaran di tepi-tepi kesabaran dan terkadang menggiring sebagian mereka mendekati garis keputus-asaan…

Subhanallah! Betapa beruntung, orang-orang yang tetap teguh di atas kesabaran, mengharapkan ridha Allah atas dakwahnya, dan memiliki harapan yang panjang bagi masyarakat yang didakwahinya. Memang, kesabaran ini menjadi salah satu kunci keberuntungan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran." (QS. al-'Ashr: 1-3)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, ".. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da'i pun yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali dia pasti akan menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana halnya rintangan yang dihadapai oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik yang dimiliki oleh ahli iman dan merupakan sebaik-baik bekal bagi seorang da'i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta'ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selain mereka, dia haruslah menjadi orang yang penyabar." (Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)

Bahkan, Allah pun mengingatkan kekasih-Nya, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersabar, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh telah didustakan para rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang ditujukan kepada mereka, dan mereka pun tetap mendapatkan gangguan, sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami." (QS. al-An'am: 34). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), "Bersabarlah, sebagaimana ulul azmi dari kalangan rasul pun bersabar…" (QS. al-Ahqaf: 35)

Inilah akhlak seorang da'i kepada Rabbnya dan dalam berinteraksi dengan orang yang didakwahinya. Meniru keteladanan yang ada pada baginda nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan salafus shalih yang mendahului kita. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh telah ada bagi kalian, pada diri Rasulullah suatu teladan yang bagus, bagi orang-orang yang mengharap kepada Allah dan hari akhir." (QS. al-Ahzab: 21)

Dari Urwah, suatu ketika 'Aisyah radhiyallahu'anha -istri Nabi- menceritakan kepadanya, bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Pernahkah anda menemui suatu hari yang lebih berat daripada hari Uhud?". Beliau menjawab, "Aku telah mendapatkan tanggapan dari kaummu sebagaimana apa yang aku temui. Tanggapan paling berat yang pernah aku dapatkan adalah pada hari 'Aqabah, ketika itu aku tawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, akan tetapi dia tidak menerima tawaranku sebagaimana yang aku kehendaki. Aku pun kembali dengan perasaan sedih mewarnai wajahku. Tanpa terasa tiba-tiba aku sudah berada di Qarn Tsa'alib. Aku angkat kepalaku ke atas, ternyata ada awan yang sedang menaungi diriku. Aku pun memperhatikan, ternyata di sana ada Jibril, lalu dia pun memanggilku. Dia berkata, 'Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan penolakan yang mereka lakukan terhadapmu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung, agar kamu perintahkan kepadanya apa yang ingin kau timpakan kepada mereka.' Maka malaikat penjaga gunung itu pun menyeruku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu dia berkata, 'Wahai Muhammad'. Dia berkata, 'Apabila kamu menginginkan hal itu, niscaya akan aku timpakan kepada mereka dua bukit besar itu.'." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam justru menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun." (HR. Bukhari [3231])

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Di dalam hadits ini terkandung keterangan mengenai besarnya rasa kasih sayang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan betapa kuat kesabaran dan kelembutan sikapnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta'ala (yang artinya), 'Dengan rahmat Allah maka kamupun bersikap lembut kepada mereka'. Dan juga firman-Nya (yang artinya), 'Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.'." (Fath al-Bari [6/353])

Saudaraku, barisan pembela dakwah al-Haq akan senantiasa dihadang oleh barisan serdadu Iblis… akankah kau mundur ke belakang dan terlempar ke jurang kehancuran, atau kau memilih maju ke depan untuk meraih kemenangan dan berjumpa dengan Allah dengan membawa amalan? Apabila hari ini engkau merintih dan mengeluh karena banyaknya rintangan dan hambatan yang engkau temui di atas jalan yang mulia ini -seolah-olah engkau telah kehilangan Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa atas segalanya-, maka pilihlah jalan manapun yang kamu sukai -kalau engkau memang ingin memisahkan diri dari jalan dakwah ini- dan Allah pun tidak segan-segan untuk menimpakan hukuman-Nya kepada orang-orang yang durhaka!!

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah; Apabila bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, sanak kerabat kalian, harta-harta yang kalian kumpulkan dan perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian senangi, itu lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai datangnya keputusan Allah, dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. at-Taubah: 24) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 332)

Saudaraku, … inilah jalanku dan jalanmu, jalan yang dibentangkan oleh Allah dan dipimpin oleh nabimu, jalan yang akan mengantarkan kepada kemuliaan dan ampunan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah; Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku, dan Maha suci Allah, aku bukan termasuk orang-orang musyrik." (QS. Yusuf: 108). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali Imran: 31).

Semoga Allah ta'ala memberikan taufik kepada kita, untuk istiqomah di atas jalan dakwah ini hingga ajal tiba. Sungguh, satu orang yang mendapatkan hidayah -dari Allah- dengan perantara dakwah kita itu jauh lebih berharga bagi masa depan kita daripada gerombolan onta merah ataupun simpanan harta-benda yang dibangga-banggakan oleh manusia. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad, wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar