Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
Kursus Percakapan Bahasa Arab (Pemula dan Lanjutan) Posted: 03 Oct 2010 03:04 PM PDT Kursus Percakapan Bahasa Arab (pemula) Dalam upaya mengembangkan semangat berbahasa Arab, Arabic short course Al Madinah International University (MEDIU) bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari bermaksud untuk membuka program kursus Bahasa Arab yang akan memadukan metode klasikal dengan metode virtual yang akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mempelajari Bahasa Arab.
Biaya Biaya buku: 60.000 Fasilitas
Waktu Belajar : Oktober – November 2010, Jam 16.00 – 17.30 , 18.00 – 20.00, 20.00 – 22.00 Belajar Kaidah Bahasa Arab dan Membaca Kitab Gundul (PEMULA) Biaya buku: 60.000 Biaya kursus: 300.000 Fasilitas
Waktu Belajar : Oktober – November 2010, Jam 16.00 – 17.30 , 18.00 – 20.00, 20.00 – 22.00
Kursus Percakapan BAHASA ARAB ( lanjutan) Biaya Biaya buku: 60.000 Fasilitas
Waktu Belajar : Oktober – November 2010, Senin – sabtu, pilihan Jam 16.00 – 17.30 , 18.00 – 20.00, 20.00 – 22.00 Sabtu - ahad, jam 7.00 – 12.00
Belajar Kaidah Bahasa Arab dan Membaca Kitab Gundul ( lanjutan) Biaya Biaya buku: 60.000 Fasilitas
Waktu Belajar : Oktober – November 2010, Senin – sabtu, pilihan Jam 16.00 – 17.30 , 18.00 – 20.00, 20.00 – 22.00 Tempat Pendaftaran Al Madinah International University LC Yogyakarta Pendaftaran dibuka sampai 3 oktober 2010. Program ini dibuka untuk umum, putra dan putri. Alamat kampus dan pusat informasi: Semarang Jalan kauman no. 55 , semarang (dekat pasar johar) Telp : 024 70301532 HP : 083838061580 ASC Magelang Jl. Mayjend Bambang Soegoeng Perum Melati Purna Blok E.49 Saragan Banyurojo, Mertoyudan Magelang hp.085228893800 0857279326823 |
Posted: 03 Oct 2010 08:00 AM PDT Banyak kita temukan gambaran mengenai pribadi teladan di dalam untaian ayat-ayat al-Qur'an. Di antaranya adalah apa yang digambarkan Allah ta'ala di dalam ayat (yang artinya), "Dan orang-orang yang memberikan apa saja yang mampu mereka persembahkan sementara hati mereka merasa takut; bagaimanakah nasib mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka." (QS. al-Mu'minun: 60). Inilah gambaran ideal seorang mukmin. Sosok yang mempersembahkan ketaatan dengan sebaik-baiknya. Di saat yang sama, dia juga merasa takut kalau amalannya tidak diterima. Sebagaimana yang masyhur dari ucapan Hasan al-Bashri rahimahullah, "Seorang mukmin memadukan antara ihsan -perbuatan baik dalam hal amal- dan rasa takut. Adapun seorang munafik -atau fajir- memadukan antara isa'ah/perbuatan jelek dan perasaan aman -dari hukuman Allah-." Pribadi semacam ini tak mudah untuk dijumpai, namun bukan berarti tidak ada. Para Sahabat Nabi adalah barisan terdepan dalam mewujudkan keteladanan ini dalam hidup mereka. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, "Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan." Padahal, kita semua mengetahui betapa agung kedudukan para Sahabat yang dikatakan oleh sebagian salaf bahwa iman mereka itu laksana gunung. Bahkan, sampai-sampai dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau, "Seandainya iman Abu Bakar [saja] ditimbang dengan iman segenap umat ini -selain para Nabi- niscaya iman Abu Bakar yang lebih berat." Subhanallah! Kebanyakan orang tatkala berhasil melakukan kebaikan terlalu larut dengan rasa gembira karena keberhasilannya. Seolah-olah dirinyalah yang 'menciptakan' keberhasilan itu. Sehingga tidak jarang muncul dari lisan atau tingkah lakunya yang mencerminkan perasaan ini. Lupa diri, itulah yang terjadi. Fenomena semacam ini sungguh memprihatinkan. Karena perasaan semacam ini akan menyeret pelakunya kepada ujub yang oleh para ulama dimasukkan dalam kategori syirik; sebab orang yang ujub mempersekutukan Allah dengan -kemampuan- dirinya sendiri (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rayyis hafizhahullah dalam salah satu ceramah beliau). Oleh karena itu, kalau kita bandingkan kondisi kita hari ini dengan para salafus shalih dahulu, amatlah jauh! Bagaikan langit dengan [dasar] sumur, begitu kata orang… Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu'anha -seorang istri Nabi yang sangat cerdas- bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai kandungan ayat dalam surat al-Mu'minun di atas, "Apakah mereka itu -yang merasa takut- adalah orang-orang yang suka minum khamr, berzina, atau mencuri?". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bukan, wahai putri ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang suka berpuasa, mengerjakan sholat, dan rajin bersedekah, namun mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka itu tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan." (HR. Tirmidzi, lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amalu, hal. 17). Mereka menyadari bahwa apa yang mereka persembahkan kepada Allah jauh daripada yang semestinya diterima oleh-Nya. Mereka tidak su'udzan kepada Allah, namun su'udzan kepada dirinya sendiri. Bagi mereka semua kebaikan yang mereka lakukan adalah berkat taufik dari-Nya, bukan hasil jerih payah mereka sendiri. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kalaulah Allah menerima amal mereka itu jelas karena kemurahan dari-Nya. Namun, kalau misalnya tidak diterima oleh-Nya, maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan keteledoran diri mereka, sehingga apa yang mereka persembahkan tidak layak untuk-Nya (lihat al-Fawa'id, hal. 36). Demikianlah keadaan orang yang mengenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Wallahul musta'aan. Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Artikel www.muslim.or.id |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar