Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
Akhlak Mulia pada Istri Tercinta Posted: 07 Jun 2011 05:00 PM PDT Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu wassalamu 'ala rasulillah… Prolog "Masya Allah, akhlak pak anu bagus banget lho!" kata seorang bapak-bapak 'mempromosikan' rekan kerjanya. "Buktinya apa pak?" tanya lawan bicaranya. "Kalau di kantor ia ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!" jawabnya. "Wuih, bu anu akhlaknya baik banget!" komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah satu tetangganya. "Darimana ibu tau?" tanya temannya. "Itu lho jeng, kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!" sahutnya. Begitulah kira-kira cara kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab, sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya. Lantas, bagaimanakah Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut. Islam Agama Akhlak Di antara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, selain untuk menegakkan tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda beliau, "بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ" "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani). Sedemikian besar perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah akhlak seorang muslim kepada Rabb-nya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun! Di antara hal yang tidak terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan 'jaminan' bahwa seseorang itu akan berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia pada sisi yang satu itu? Barometer Akhlak Mulia Panutan kita Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya, "خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي" "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku." (H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits tersebut sahih). Hadits di atas terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut. Dalam kaitan dengan hal di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas semampunya: Pertama: Mengapa berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak, dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang? Sekurang-kurangnya, wallahu a'lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut [disarikan dari kitab al-Mau'izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79)]: a. Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk 'bersandiwara'. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya. Ketika bersandiwara, bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya. Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada. b. Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu. Ketika di kantor, ia musti menjaga 'rapor'nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak. Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat. Demikian itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu, bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui. Kedua: Beberapa potret kemuliaan akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap keluarganya. Sebagai teladan umat, amatlah wajar jika praktik keseharian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan ini.
Secara hukum asal, urusan dapur dan tetek bengek-nya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki. عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: "مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ" Urwah bertanya kepada Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?" Aisyah menjawab, "Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember." (H.R. Ibnu Hibban). Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa padat berdakwah, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi ekonomi umat dan lain-lain, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.
Berikut Aisyah, salah satu istri Rasul shallallahu 'alahi wa sallam menyampaikan pengamatannya; "أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ" "Nabi shallallahu 'alahi wa sallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak." (H.R. Muslim). Bersiwak ketika pertama kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita. Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu 'alahi wa sallam menjaga penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho! Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, "أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا" "Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri." (H.R. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani). Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri. Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya. Epilog Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da'i, guru, ustadz, pejabat dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian, berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi qudwah luar maupun dalam. Wallahu a'la wa a'lam. Kedungwuluh Purbalingga, 7 Rabi'ul Awal 1431 / 21 Februari 2010 Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Artikel www.muslim.or.id |
Posted: 06 Jun 2011 05:00 PM PDT Emas 1 gram berapa harganya? Kalau bumi ini ditimbang berapa gram beratnya?! Kalau ada emas sepenuh isi bumi dijual harganya kira-kira berapa ya? Wah… pasti mahal sekali, bisa untuk bersenang-senang tujuh turunan itu…!
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kelak pada hari kiamat orang kafir akan didatangkan lalu ditanyakan kepadanya, 'Bagaimana menurutmu seandainya kamu mempunyai emas sepenuh isi bumi apakah kamu mau menebus (siksaan) dengannya?'. Dia menjawab, 'Iya tentu saja.' Maka dikatakan kepadanya, 'Sesungguhnya dahulu -di dunia- kamu diminta sesuatu yang lebih mudah daripada itu [akan tetapi kamu enggan dan tetap berbuat syirik].'." (HR. Bukhari [6538] dan Muslim [2805]) Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu, beliau bercerita bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati pasar melalui sebagian jalan dari arah pemukiman, sementara orang-orang [para sahabat] menyertai beliau. Lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang telinganya cacat (berukuran kecil). Beliau pun mengambil kambing itu seraya memegang telinga nya. Kemudian beliau berkata, "Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan harga satu dirham?". Mereka menjawab, "Kami sama sekali tidak berminat untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?". Beliau kembali bertanya, "Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?". Mereka menjawab, "Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?" Beliau pun bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah daripada bangkai ini di mata kalian." (HR. Muslim [2957]) Kedua hadits di atas menerangkan kepada kita betapa tidak ada nilainya kekayaan dunia semata jika tidak disertai dengan keimanan. Oleh sebab itu sebanyak apa pun harta yang dimiliki oleh seseorang jika tidak dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka di akherat harta itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Sebagaimana Allah ta'ala tegaskan hal ini dalam ayat (yang artinya), "Pada hari itu -kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat." (QS. asy-Syu'ara: 88-89). Hati yang selamat itu adalah hati yang beriman dengan sebenarnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang kafir itu seandainya mereka memiliki segala isi bumi ini seluruhnya dan bahkan ditambah yang semisalnya demi menebus siksaan pada hari kiamat maka tidak akan diterima, dan mereka layak untuk menerima siksaan yang sangat pedih." (QS. al-Ma'idah: 36) Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan meninggal dalam keadaan kafir maka tidak akan diterima dari salah seorang mereka [tebusan atas siksa yang mereka terima] meskipun berupa emas sepenuh isi bumi kalaulah mereka mau menebus dengannya. Mereka itu adalah orang-orang yang layak menerima siksaan yang pedih dan tidak ada bagi mereka sedikit pun penolong." (QS. Ali Imran: 91) Maka keimanan yang benar adalah sumber kebahagiaan dan keselamatan meskipun ekonomi pas-pasan atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku pernah melihat surga, ternyata di dalamnya dihuni kebanyakan oleh orang-orang miskin. Dan aku pun melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita." (HR. Muslim [2737]) Kesulitan dan kesedihan dunia seperti apa pun yang dirasakan oleh orang-orang miskin yang menjaga keimanan mereka akan terlupakan hanya dengan satu celupan kenikmatan surga. Sebaliknya, selezat apa pun kenikmatan duniawi yang dirasakan oleh orang kafir di dunia, maka akan terlupakan dengan satu celupan siksa di neraka, na'udzu billahi min dzalik… Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kelak pada hari kiamat akan didatangkan penduduk neraka yang pernah merasakan kenikmatan paling lezat selama di dunia lalu dia dicelupkan di neraka sekali celupan. Kemudian ditanyakan kepadanya, 'Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan?'. Maka dia menjawab, 'Sama sekali tidak pernah, wahai Tuhanku.' Dan juga didatangkan penduduk surga yang hidupnya paling susah selama di dunia, lalu dicelupkan sekali celupan di dalam surga. Kemudian ditanyakan kepadanya, 'Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan? Apakah kamu pernah merasakan kesulitan?'. Maka dia menjawab, 'Sama sekali tidak pernah, wahai Tuhanku. Aku belum pernah merasakan kesusahan dan belum pernah melihat kesulitan.'." (HR. Muslim [2807]) Hal ini menunjukkan kepada kita betapa agungnya kesabaran dan betapa besar ganjarannya di sisi Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan disempurnakan balasan amalnya tanpa hitungan." (QS. az-Zumar: 10). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. al-Anfal: 46). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), "Allah mencintai orang-orang yang sabar." (QS. Ali Imran: 146) Kemiskinan dan kesulitan perekonomian memang tidak menyenangkan, akan tetapi jika seorang hamba bersabar menghadapinya dan tetap menjaga nilai-nilai keimanan yang ada di dalam dirinya, niscaya kesabaran itu akan mengantarkannya menuju pintu surga. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan (nafsu)." (HR. Muslim [2822]) Imam Muslim juga meriwayatkan dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak dijumpai kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mengalami kesenangan, dia pun bersyukur. Maka hal itu adalah baik untuknya. Dan apabila dia mengalami kesusahan, dia pun bersabar. Maka hal itu pun baik untuknya." (HR. Muslim [2999]) Apabila ternyata kekayaan materi semata sama sekali tidak menjanjikan kebahagiaan, bahkan terkadang kemiskinan jauh lebih menyelamatkan dan mengantarkan menuju kebahagiaan yang sejati, tentu saja seorang hamba tidak akan lagi memelihara sifat tamak dan rakus kepada dunia di dalam hatinya. Akan tetapi kenyataannya masih banyak juga orang yang lupa atau pura-pura lupa tentang hakekat kesenangan dunia yang fana ini. Sehingga mereka pun rela menjual agama demi mencicipi kesenangan dunia yang tak seberapa. Sungguh indah perkataan seorang penyair, "Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cendekia, Mereka ceraikan dunia dan takut akan fitnahnya. Mereka perhatikan apa yang ada di sana. Tatkala mereka sadar bahwa dunia bukanlah tempat tinggal sebenarnya. Maka mereka jadikan dunia ini sebagai samudera, dan mereka gunakan amal salih sebagai perahu yang berlayar di atasnya." (lihat Mukadimah Riyadhus Shalihin oleh Imam an-Nawawi) — Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Artikel www.muslim.or.id |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar