Sabtu, 28 Agustus 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


PROPOSAL PROGRAM PEMBINAAN dan PUSAT DAKWAH MAHASISWA MUSLIM

Posted: 28 Aug 2010 03:11 PM PDT

A. MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah, Yang telah menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-Nya, Yang telah menetapkan takdir dan mencurahkan hidayah kepada hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul akhir zaman, yang menunjukkan jalan yang lurus kepada umatnya sehingga meninggalkan mereka di atas ajaran yang putih bersih dan terang benderang yang malamnya bagaikan siangnya, tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa. Amma ba’du.

Bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam, bahwa kemajuan dan kejayaan mereka sangatlah erat kaitannya dengan komitmen setiap individu terhadap ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan sebab Kitab ini dan akan menghinakan yang lain dengan sebab Kitab ini pula." (HR. Muslim dari sahabat Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu). Oleh sebab itu, kebaikan umat ini tergantung kepada sejauh mana perhatian dan kesungguhan mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran suci al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari dari sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu)

Begitu pula as-Sunnah yang itu merupakan penjelas dan pemberi keterangan tambahan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, merupakan wahyu yang terjaga dan menjadi jalan yang akan mengantarkan kaum muslimin menuju kecintaan dan ampunan Rabb semesta alam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali Imran: 31). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS. an-Najm: 3-4). Oleh sebab itu seorang mukmin tidak akan pernah menempuh jalan dan mengambil keputusan selain apa yang dipilihkan dan ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada pilihan lain bagi mereka dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata." (QS. al-Ahzab: 36)

Berangkat dari situlah, maka Forum Kajian Islam EL-Amin berkat rahmat dan taufik dari allah semata sampai saat ini masih menjalankan program pembinaan keagamaan untuk mahasiswa muslim dan muslimah diwilayah sekitar kampus UAD (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta). Seiring dengan berjalannya waktu, dan bergantinya generasi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan yang kami adakan, maka muncul ide untuk membentuk sebuah wisma yang dapat digunakan untuk pusat pembinaan dan dakwah islam disekitar kampus yang semakin hari kondisinya semakin memprihatinkan.

B. NAMA KEGIATAN

Kegiatan ini bernama "Program Pembinaan dan Pusat Dakwah Mahasiswa Muslim"

C. BENTUK KEGIATAN

Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk :

  1. Kegiatan hafalan Qur'an dan Hadits
  2. Bimbingan pengajian iqro' Bapak-Bapak, dan bimbingan membaca alqur'an untuk mahasiswa
  3. Pengelolaan kajian rutin dan bahasa arab disekitar kampus
  4. Pengadaan pengajian umum antar masjid disekitar kampus
  5. Penyebarluasan informasi kajian dan dakwah islam melalui pamflet dan buletin maupun media internet

D. TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan :

  1. Menumbuhkan kecintaan kepada al-Quran dan al-Hadits pada generasi muda pada umumnya dan bagi para mahasiswa pada khususnya
  2. Meningkatkan kemampuan membaca dan memahami al-Quran bagi kaum bapak-bapak sekitar kelurahan umbulharjo dan bagi para mahasiswa
  3. Meningkatkan pemahaman umat terhadap ilmu agama serta ilmu bahasa arab yang menunjang untuknya
  4. Menyebarkan ilmu terutama mengenai aqidah yang benar serta hukum-hukum islam kepada segenap kaum muslimin
  5. Membantu terwujudnya mahasiswa yang berakhlaq mulia sehingga tercipta susana kampus yang lebih islami

E. SARANA

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut maka forum kajian islam EL-Amin berupaya menggalang dana untuk membiayai pengadaan sarana yang dibutuhkan, antara lain

  1. Asrama mahasiswa (5 kamar)
  2. Kantor sekretariat (1 kamar)
  3. Ruang perpustakaan (1 ruangan)
  4. Ruang kelas (1 ruangan)

F. LOKASI

Komplek pusat pembinaan dan dakwah mahasiswa muslim yang akan disewa ini terdiri dari 1 bangunan rumah. Alamat: Jalan Prof.Dr. Soepomo, Warungboto kecamatan Umbul Harjo (sebelah barat laboratorium Universitas Ahmad Dahlan)

I. PENUTUP

Demikianlah proposal program Pembinaan dan Pusat Dakwah Mahasiswa Muslim yang diajukan oleh forum kajian islam EL-Amin dengan harapan bisa membantu lancarnya kegiatan dakwah islamiyah yang menjadi tanggung jawab bersama kita semua. Semoga ini bisa menjadi amal sholeh yang bermanfaat bagi kita di hari akherat kelak. Hanya Allah-lah sebaik-baik pemberi balasan dan Dia-lah yang menunjuki siapa saja di antara hamba-hambaNya menuju jalan yang lurus.

Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alaihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Lampiran 1

ANGGARAN DANA

1. Sewa Tempat1

Sewa wisma mahasiswa/tahun :

Wisma EL-Amin 5 kamar ukuran                               Rp    8,000,000.00

3×4 m @ Rp. 1,6 juta

Sewa Kantor Sekretariat/tahun :

Wisma El-Amin 1 kamar ukuran                                 Rp    1,600,000.00

4×4 m @ Rp. 1,6 juta

Sewa Ruang Perpustakaan/tahun :

Wisma El-Amin 1 kamar ukuran                                 Rp    1,600,000.00

4×4 m @ Rp. 1,6 juta

Sewa Ruang Kelas/tahun :

Wisma El-Amin 1 kamar ukuran                                 Rp    1,600,000.00

4×4 m @ Rp. 1,6 juta

Total Rp 12,800,000.00

2. Perlengkapan

Rak buku (4 buah @ Rp 100,000.00)                         Rp.      400,000.00

White Board ukuran 2×1 m, 2 buah @ 100,000.00    Rp.      200,000.00

Total                                                                           Rp.      600,000.00

3. Biaya Lain-lain                                              Rp.      400,000.00

4. Total Anggaran                                             Rp. 13,800,000.00

Rekening Donasi :

  1. BNI Syari'ah 0092824271 a.n. Rulli Indrawan

Konfirmasi lebih lanjut hub. 08170852931 (Ibnu ahmad)


SUSUNAN PANITIA

Penasehat                        : Ustadz Jundi, Lc.

Penanggung Jawab   : Nursamsi Kurniawan, S.far., Apt.

Ketua Program             : Abdurrahman Shiddiq

Wakil Ketua                     : Muhammad Fikri

Sekretaris                         : Amri Ahmad

Bendahara                        : Rulli Indrawan

Koordinator-koordinator :

Kajian rutin                                                  : Muhammad Darwis

Pengajian Umum Antar Masjid     : Abdurrahman Shiddiq

Bahasa Arab                                                 : Amri Ahmad

Informasi dakwah, kajian                 : Muhammad Fikri

Pengajian Iqro' Bapak-Bapak          : Nursamsi Kurniawan

I’tikaf di Masjid Pogung Raya Jogjakarta

Posted: 28 Aug 2010 03:07 PM PDT

Nikmati..

10 terakhir Ramadhan anda

dengan segudang pahala

di bulan yang mulia

di Masjid Pogung Raya

Kegiatan Gema Ramadhan 1431 H Masjid Pogung Raya mengadakan I’tikaf

Waktu : 21 s/d 30 Ramadhan

Sifat : Terbuku untuk umum, khusus putra

Fasilitas

1. Makan Sahur dan buka puasa

2. Perpustakaan

3. Tempat tidur

4. Kamar mandi

5. Shalat malam

Dibuka pendafataran sampai tanggal 30 agustus 2010

Tempat pendaftaran : Masjid Pogung Raya

Pendaftaran via sms dikirim ke no

CP : Riki ( 085643489042)

Format   : NAMA_PEKERJAAN_ALAMAT

Breafing : 29 Agustus 2010 ( Ba’da shalat Tarawih) di Masjid Pogung Raya

Biaya pendaftaran Rp 20.000

Serial Mudik 4: Beberapa Keringanan Ketika Safar

Posted: 28 Aug 2010 10:00 AM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Pertama, diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa jika mengalami kesulitan untuk berpuasa ketika safar. Jabir bin 'Abdillah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Siapa ini?" Orang-orang pun mengatakan, "Ini adalah orang yang sedang berpuasa." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar".[1] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Namun apabila tidak mendapati kesulitan untuk berpuasa ketika safar, maka puasa ketika itu lebih afdhol karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri nantinya.

Dari Abu Darda', beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

"Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu."[2][3]

Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka'at (Dzuhur, 'Ashar dan 'Isya') menjadi dua raka'at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari 'Aisyah,

فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.

"Dulu shalat diwajibkan dua raka'at dua raka'at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka'at dua raka'at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka'atnya ditambah ketika tidak bersafar."[4]

Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan.  Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ

"Allah 'azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat."[5]

Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.

Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, "Allah subhanahu wa ta'ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka'at menjadi dua raka'at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari'atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka'at) lebih utama."[6]

Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu 'alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, "Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba'diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar."[7] Shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar karena yang tidak nabi [8].

:: Yang Mesti Diperhatikan Ketika Safar ::

Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan Bersafar?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.

Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang boleh mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah 'urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka boleh di sana seseorang mengqoshor shalat dan boleh baginya mengambil keringanan safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah.[9]

Kapan Waktu Dibolehkan Mengqoshor Shalat?

Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

"Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka'at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua raka'at."[10]

Lama Waktu Seseorang Boleh Mengqoshor Shalat

Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?

Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari boleh mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.

Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar sebenarnya tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.

Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.[11]

Apakah Bersafar Mesti Menjamak Shalat?

Asalnya, boleh saja bagi musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya'.  Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى السَّفَرِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menjama' shalat Maghrib dan Isya' ketika safar"[12]

Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor (menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah mengqoshor shalat.

Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.

Menjama' shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya' boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.[13]

Tetap Shalat Berjama'ah Ketika Bersafar

Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, hukum shalat jama'ah adalah wajib bagi kaum pria. Imam Asy Syafi'i mengatakan, "Adapun shalat jama'ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur."[14]

Syaikh 'Abdul Aziz bin 'Abdillah bin Baz mengatakan, "Apabila musafir berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan tetapi hendaknya dia shalat secara berjama'ah bersama jama'ah di negeri tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka'atnya (tidak mengqoshor). Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia mengqoshor shalat yang empat raka'at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua raka'at."[15]

Bermakmum di Belakang Imam Mukim

Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa diqoshor).

Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,

كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه وسلم-.

"Kami pernah bersama Ibnu 'Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, "Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka'at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka'at (dengan diqoshor)?" Ibnu 'Abbas pun menjawab, "Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)."[16]

Shalat Di Atas Kendaraan Ketika Bersafar

Untuk melaksanakan shalat sunnah, boleh dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat walaupun setelah itu arahnya berubah[17]. Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.

Dari Jabir bin 'Abdillah, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat."[18]

Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,

  1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
  2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.

Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan.[19] Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Perkara meninggalkan shalat bukan perkara sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat."[20]

Demikian beberapa pembahasan kami mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Direvisi ulang di Panggang, Gunung Kidul, 13 Ramadhan 1430 H (23 Agustus 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115

[2] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122

[3] Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah, 2/120-121, Abu Malik Kamal bin As Sayid As Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[4] HR. Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685.

[5] HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Misykatul Mashobih 2025 [7].

[6] Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, Tahqiq: Syu'aib Al Arnauth, 'Abdul Qadir Al Arnauth Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H, 1/298.

[7] Zaadul Ma'ad, 1/456

[8] Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu' Fatawanya (15/258). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, serta menjadi pendapat Ibnu 'Umar. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/490.

[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.

[10] HR. Bukhari no. 1089.

[11] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487

[12] HR. Bukhari no. 1108.

[13] Lihat Fatawa Al Islam Su-al wa Jawaab no. 49885 pada link http://islamqa.com/ar/ref/49885 , di dalamnya terdapat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin yang sangat bermanfaat.

[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 107

[15] Majmu' Fatawa Ibnu Baz, Mawqi' Al Ifta', 12/243.

[16] HR. Ahmad 1/216. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

[17] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/306

[18] HR. Bukhari no. 400

[19] Lihat pembahasan shalat di mobil dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada link http://www.islamqa.com/ar/ref/21869

[20] Ash Sholah, hal. 7.

8 Kemungkaran di Hari Raya

Posted: 28 Aug 2010 12:00 AM PDT

Hari raya 'Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.

Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan. Sungguh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka"[1] Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur'an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma').[2]

Kedua: Mendengarkan dan memainkan musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam Bab "Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya" sebuah riwayat dari Abu 'Amir atau Abu Malik Al Asy'ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, 'Kembalilah kepada kami esok hari.' Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat."[3] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.[4]

Ibnu Mas'ud mengatakan, "Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran." Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Nyanyian adalah mantera-mantera zina." Adh Dhohak mengatakan, "Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah."[5]

Imam Asy Syafi'i rahimahullah berkata, "Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak."[6] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik."[7]

Ketiga: Wanita berhias diri ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama." (QS. Al Ahzab: 33). Abu 'Ubaidah mengatakan, "Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya." Az Zujaj mengatakan, "Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria."[8] Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai.

Keempat: Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

"Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian."[9] Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul 'apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram'."[10]

Lihat pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.[11]

Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

"Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian."[12] Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan "nyadran"). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

"Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir."[13]

'Umar bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

"Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat."[14]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat."[15]

Adapun mengenai hukum shalat jama'ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama'ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka".[16]

Imam Asy Syafi'i rahimahullah mengatakan,

وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

"Adapun shalat jama'ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur."[17]

Ketujuh: Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat shubuh dan shalat 'ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya."[18]

Ibnu Baththol menjelaskan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, "Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!"[19]

Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

"Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya."[20] Ibnu Baththol mengatakan, "Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, "Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut"."[21] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kedelapan: Memeriahkan 'Idul Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, "Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan."[22] Allah Ta'ala berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan." (QS. Al Isro': 26-27).  Ibnu Katsir mengatakan, "Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros  dengan mengatakan: "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan". Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]

Akhir kata: "Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (QS. Hud: 88)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Direvisi ulang di pagi penuh barokah, di Panggang-Gunung Kidul, 15 Ramadhan 1431 H (25/8/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho' (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa'ul Gholil no. 1269.

[2] Lihat penukilan ijma' (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho' Ash Shirotil Mustaqim, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H, 1/363.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq dengan lafazh jazm/ tegas.

[4] Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.

[5] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, Darul Kutub Al 'Arobi, cetakan pertama, 1405 H, hal. 289.

[6] Lihat Talbis Iblis, 283.

[7] Majmu' Al Fatawa, 11/576-577.

[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 6/379-380.

[9] HR. Muslim no. 6925

[10] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royan, cetakan ketiga, 1425 H, hal. 41.

[11] HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[12] HR. Muslim no. 976.

[13] HR. An Nasa'i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.

[15] Ash Sholah, hal. 7.

[16] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.

[17] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107

[18] HR. Bukhari no. 568

[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 3/278.

[20] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40

[21] Syarh Al Bukhari, 1/38.

[22] Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/474-475.

[23] Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 8/474.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar