Kamis, 26 Agustus 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Serial Mudik 2: Tips Ketika Safar

Posted: 26 Aug 2010 10:00 AM PDT

Sebelumnya telah kita kaji bersama mengenai beberapa hal yang mesti dipersiapkan sebelum melakukan safar. Saat ini kita akan melanjutkan bagaimanakah tuntunan yang bisa diamalkan ketika di perjalanan atau ketika safar. Semoga perjalanan mudik kita semakin berkah dengan mengamalkan tips berikut ini.

Membaca Do'a Ketika Naik Kendaraan

Ketika menaikkan kaki di atas kendaraan hendaklah seorang musafir membaca, "Bismillah, bismillah, bismillah". Ketika sudah berada di atas kendaraan, hendaknya mengucapkan, "Alhamdulillah". Lalu membaca,

سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

"Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna  lahu muqriniin. Wa inna ilaa robbina lamun-qolibuun" (Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami)[1].

Kemudian mengucapkan, "Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah". Lalu mengucapkan, "Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar." Setelah itu membaca,

سُبْحَانَكَ إِنِّى قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِى فَاغْفِرْ لِى فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

"Subhaanaka inni qod zholamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta" (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau).[2]

Membaca Do'a dan Dzikir Safar

Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan, "Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar." Setelah itu membaca,

سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

"Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna  lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun[3]. Allahumma innaa nas'aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal 'amali ma tardho. Allahumma hawwin 'alainaa safaronaa hadza, wathwi 'anna bu'dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a'udzubika min wa'tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli." (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)[4]

Dalam perjalanan, hendaknya seorang musafir membaca dzikir "subhanallah" ketika melewati jalan menurun dan "Allahu akbar" ketika melewati jalan mendaki. Dalam sebuah riwayat disebutkan,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه إذا علوا الثنايا كبروا و إذا هبطوا سبحوا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya biasa jika melewati jalan mendaki, mereka bertakbir (mengucapkan "Allahu Akbar"). Sedangkan apabila melewati jalan menurun, mereka bertasbih (mengucapkan "Subhanallah")."[5]

Hendaklah Memperbanyak Do'a Ketika Safar

Hendaklah seorang musafir memperbanyak do'a ketika dalam perjalanan karena do'a seorang musafir adalah salah satu do'a yang mustajab (terkabulkan).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَالْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

"Tiga do'a yang tidak diragukan lagi terkabulnya yaitu do'a seorang musafir, do'a orang yang terzholimi, dan do'a orang tua kepada anaknya."[6]

Membaca Do'a Ketika Mampir di Suatu Tempat

Hendaklah seorang musafir ketika mampir di suatu tempat membaca, "A'udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk)."

Tujuannya agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan gangguan. Dari Khowlah binti Hakim As Sulamiyah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

"Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, "A'udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk)", maka tidak ada satu pun yang akan membahayakannya sampai dia pergi dari tempat tersebut."[7]

Ketika Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak

Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan "bismillah").

Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, "Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, "Celakalah syaithan". Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,

لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ

"Janganlah engkau ucapkan 'celakalah syaithan', karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, 'Itu semua terjadi karena kekuatanku'. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah "Bismillah". Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat."[8]


Musafir Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,

سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ

"Samma'a saami'un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi 'alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil 'alainaa 'aa-idzan billahi minan naar (Semoga ada yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb kami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api neraka)."[9]


Direvisi ulang 4 Ramadhan 1431 H, 14 Agustus 2010 di Panggang-Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] QS. Az Zukhruf: 13-14

[2] HR. At Tirmidzi no. 3446, dari 'Ali bin Abi Thalib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] QS. Az Zukhruf: 13-14

[4] HR. Muslim no. 1342, dari 'Abdullah bin 'Umar.

[5] Lihat Al Kalim Ath Thoyyib no. 175. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[6] HR. Ahmad 2/434. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya.

[7] HR. Muslim no. 2708

[8] HR. Abu Daud no. 4982 dan Ahmad 5/95. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[9] HR. Muslim no. 2718

Agar Perjalanan Anda Penuh Makna

Posted: 26 Aug 2010 04:00 AM PDT

Melakukan perjalanan mungkin sudah menjadi kebiasaan sebagian besar di antara kita. Mulai dari berjalan ke sekolah, kampus, pasar, sekedar berjalan kaki ke warnet bahkan hingga safar ke luar kota. Selama perjalanan tersebut tentunya membutuhkan waktu. Namun pernahkah terpikir oleh kita untuk memanfaatkan waktu selama perjalanan tersebut dengan amalan-amalan yang akan mendatangkan manfaat bagi kita? Semoga tulisan berikut ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita semua untuk memanfaatkan waktu perjalanan agar semakin bermakna.

Perbanyak Berzikir

Berzikir adalah ibadah yang sangat mudah. Bisa dilakukan kapan pun dan tanpa mengeluarkan banyak biaya. Namun Alloh menjanjikan ganjaran yang sangat besar bagi orang yang lisannya selalu basah dengan zikir. Apapun kendaraan yang kita gunakan, serta selama apapun kita melakukan perjalanan, berzikir dapat kita lakukan setiap saat. Ketika sedang memegang setang motor atau memegang kemudi roda empat. Ketika berjalan cepat di jalan tol atau kondisi kendaraan kita terjebak macet. Ketika hendak pergi ke kampus atau ketika mudik lebaran ke pulau seberang.

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al Ahzab: 41, 42)

أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28)

Dari Abdulloh bin Basr rodhiallohu ‘anhu ia berkata, “Seorang laki-laki pernah berkata kepada Rosululloh, 'Wahai Rosululloh, sesungguhnya syariat Islam itu banyak maka beri tahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan pegangan!' Maka Rosul menjawab,

لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله

“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan berzikir pada Alloh.” (HR. Tirmidzi)

Adapun lafal zikir yang dapat kita baca saat perjalanan sangat banyak sekali. Kita dapat membaca tasbih (Subhanalloh), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allohu Akbar), tahlil (Laa ilaha illalloh) ataupun lafal-lafal lainnya yang telah dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam,

كلمتان خفيفتان على اللسان, ثقيلتان في المزان, حبيبتان الى الرحمان: سبحان الله و بحمده سبحان الله العظيم

“Dua buah kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan (mizan) dan dicintai oleh Ar Rohman: Subhanalloh wa bihamdih, Subhanallohil ‘azhiim.” (HR. Bukhori Muslim)

Demikian pula, kita dapat mengucapkan lafal-lafal lainnya seperti ucapan istigfar (Astaghfirulloh) sebagaimana Rosululloh menyebutkan bahwa beliau beristigfar lebih dari 70 kali setiap harinya. Seorang salaf pernah berkata, “Perbanyaklah istigfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan dalam majelis-majelis kalian dan di mana saja kalian berada! Karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!!”

Kita juga dapat membaca sholawat Nabi yang berasal dari dalil yang shohih sebagaimana sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan dan bersholawatlah untukku karena sesungguhnya sholawat yang engkau ucapkan akan sampai kepadaku di mana saja engkau berada.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Mengulang Hafalan Al Quran

Terkadang waktu perjalanan yang kita lakukan bisa memakan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi jika kita perjalanan yang kita lakukan cukup jauh. Hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu tersebut adalah dengan mengulang-ulang kembali hafalan Al Quran kita.

Sebagai contoh misalnya, perjalanan dari rumah ke sekolah, kampus atau kantor bisa memakan waktu setengah sampai satu jam. Apalagi jika terjebak kemacetan lalu lintas. Waktu setengah jam dapat kita gunakan untuk mengulang hafalan Al Quran setengah sampai satu juz.

Sebenarnya bukan hanya hafalan Al Quran saja yang bisa kita ulang-ulang saat perjalanan. Bagi Anda yang telah menghafal beberapa hadits Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam bisa juga mengulangnya selama perjalanan. Mengulang hafalan hadits Arba’in misalnya.

Mengulang hafalan ini sangat bermanfaat bagi kita. Membaca Al Quran merupakan sebuah amal ibadah dan para salafushalih terdahulu amat semangat dalam membaca Al Quran, menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Maka sudah sepantasnya kita sebagai orang yang menisbatkan diri pada manhaj salaf juga turut menghafal Al Quran dengan bersemangat. Namun sangat disayangkan sekali banyak di antara kita yang belum melakukannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan (Kitabul ‘Ilmi hal 43, 44), “Maka sesungguhnya merupakan kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membaca, menghafal dan memahami Al Quran karena Al Quran adalah tali Alloh yang sangat kokoh dan fondasi seluruh ilmu pengetahuan. Dahulu para salaf sangat bersemangat dengan Al Quran. Di antara mereka ada yang memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan tentang Al Quran. Di antara mereka ada yang telah hafal Al Quran sebelum berumur 7 tahun. Di antara mereka ada yang menghafal Al Quran hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan. Hal ini membuktikan semangat mereka atas Al Quran. Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafal Al Quran melalui siapa saja, karena Al Quran diambil secara talaqqi (berguru).”

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya sebuah hal yang sangat disayangkan, sering kita jumpai sebagian penuntut ilmu tidak memiliki hafalan Al Quran bahkan sebagian mereka tidak dapat membaca Al Quran dengan baik. Ini merupakan sebuah cacat yang besar dalam metode menuntut ilmu. Oleh karena itu, Aku tekankan kembali bahwasanya wajib bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafal Al Quran, beramal dengan Al Quran, berdakwah kepadanya dan memahaminya dengan pemahaman salafushalih.”

Demikianlah perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin, seorang ulama besar di zaman ini tentang wajibnya seorang penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafalkan Al Quran. Namun sangat disayangkan, sebagian aktivis dakwah di zaman ini lebih sibuk untuk menghafalkan nasyid-nasyid dan mendendangkannya di setiap tempat. Wallohul musta’an.

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 22)

Awas Jangan Melanggar Rambu Lalu Lintas!!!

Seorang pengendara tentunya mengetahui bahwa ia haruslah menaati rambu-rambu lalu lintas. Maka pengendara yang baik adalah pengendara yang menaati rambu-rambu lalu lintas yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan bersama. Sehingga sudah seharusnya bagi seorang mukmin untuk menaati kesepakatan ini. Sebagai buktinya bahwa setiap pengendara mesti sudah menyepakati peraturan lalu lintas adalah surat izin mengemudi (SIM) yang telah dia dapatkan. Karena menaati peraturan rambu lalu lintas adalah perintah waliyul amr yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan wajib bagi kaum muslimin untuk menaati perintah waliyul amr selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Alloh ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa: 59)

Sebagaimana pula sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,

المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما

“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi, Ad Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)

Namun sangat disayangkan sekali, banyak di antara kita yang lalai dari menunaikan kewajiban ini. Sering kali kita melihat (atau mungkin kita sebagai pelakunya) orang yang melanggar peraturan lalu lintas yang telah disepakati bersama. Sering kita menyerobot jalur yang semestinya digunakan oleh orang lain. Jalur yang seharusnya digunakan untuk kendaraan yang berbelok ke arah kiri menjadi tertutup, padahal seharusnya kendaraan tersebut dapat langsung berbelok. Maka hal ini merupakan salah satu bentuk kezholiman dan Alloh ta’ala telah melarang hamba-Nya untuk berbuat zholim, Alloh berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

يا عبادي إني حرّمت الظلم على نفسي وجعلته محرّما بينكم فلا تظالموا

“Wahai hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kezholiman atas diriku dan Aku jadikan hal tersebut haram di antara kalian maka janganlah kalian saling berbuat zholim.” (HR. Muslim)

Demikian juga kita dapati banyak sekali para pengendara yang menerobos lampu lalu lintas ketika sinyal berwarna merah yang menandakan harus berhenti. Jika orang tersebut berkilah bahwa dia terburu-buru, maka kita katakan bahwa tidak mustahil orang lain pun memiliki kepentingan yang lebih mendesak dibandingkan kita. Sering kali terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut malah menimbulkan mudhorot yang lebih besar seperti kecelakaan lalu lintas bahkan tidak jarang menelan korban jiwa.

Oleh sebab itu, hendaknya sebagai seorang pengendara yang baik, kita menaati peraturan lalu lintas yang telah disepakati bersama.

المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما

“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Muslim)

Awas, Pandangan Liar !!!

Selama perjalanan, banyak hal-hal yang kita lihat. Terlebih lagi jika perjalanan kita banyak melewati tempat-tempat keramaian seperti pasar dan semacamnya. Maka pada tempat-tempat seperti itu, panah-panah syaitan mengintai bani Adam. Syaitan siap melepaskan panah-panahnya namun sasarannya adalah mata bani Adam. Panah-panah syaitan ini berupa pandangan mata kita kepada sesuatu yang haram untuk dilihat baik berupa aurat maupun hal lainnya. Maka orang yang sedang melakukan perjalanan hendaknya mampu untuk menjaga pandangannya.

Sangat banyak ayat dan hadits yang telah menjelaskan tentang wajibnya menjaga pandangan. Di antaranya firman Alloh ta’ala,

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (QS. An Nuur: 30)

Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly hafizhohulloh berkata (Bahjatun Nadhirin 3/142,143), “Ini adalah perintah Alloh kepada hamba-hambanya yang beriman agar mereka menjaga pandangan dari hal yang haram. Maka janganlah mereka melihat kecuali hal-hal yang diperbolehkan untuk dilihat. Hendaklah mereka memejamkan mata mereka dari hal-hal yang diharamkan. Jika pada suatu saat pandangan mereka tertuju pada hal yang haram tanpa sengaja, maka palingkan pandangannya sesegera mungkin sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits.

Beliau melanjutkan, “Diharamkannya An Nadhor (memandang pada hal yang haram -pent) karena hal ini menyebabkan rusaknya hati dan menggiring kepada perbuatan buruk dengan berangan-angan tentang hal tersebut dan berjalan padanya. Oleh karena itu Alloh memerintahkan untuk menjaga kemaluan sebagaimana Ia memerintahkan untuk menjaga pandangan yang merupakan sarana untuk menjaga kemaluan. Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa barang siapa yang menjaga kemaluannya, maka Alloh akan menganugerahkan cahaya pada mata hatinya. Oleh karena itu Alloh mengatakan, “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” Banyak di antara para salaf yang melarang seorang laki-laki untuk memandang amrod (anak kecil yang tampan dan belum tumbuh janggutnya -pent). Bahkan sebagian ulama mengharamkannya karena fitnah yang sangat besar.”

Demikianlah, jangan sampai perjalanan kita justru akan membawa mudhorot kepada kita dengan hilangnya cahaya dari Alloh pada hati kita karena pandangan liar yang kita lemparkan.

Seorang yang sholih pernah berkata, “Barang siapa yang menghidupkan perkara lahirnya dengan mengikuti sunnah, dan batinnya senantiasa mendekatkan diri pada Alloh, menjaga pandangannya dari hal yang haram, menjaga jiwanya dari syubhat dan makan makanan yang halal maka firasatnya tidak akan keliru.” Maka balasan yang diberikan akan setimpal dengan amal perbuatan yang dilakukan. Barang siapa menjaga pandangannya dari hal yang haram, maka Alloh akan memberikan cahaya pada hatinya. (Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, hal 39).

Selain ayat di atas yang menegaskan tentang wajibnya kita menjaga pandangan, ada banyak sekali hadits-hadits dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Hurairoh bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Telah ditetapkan nasib keturunan Adam tentang zina yang tidak bisa tidak, mesti dia lakukan: Zina kedua mata dengan melihat, zina kedua telinga dengan mendengar, zinanya lisan dengan berbicara, zina kedua tangan dengan memukul, zinanya kaki dengan berjalan, dan hati dengan bernafsu dan berangan-angan. Maka kemaluanlah yang membenarkan hal tersebut atau mendustakannya.” (HR. Bukhori Muslim)

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilal hafizhohulloh mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Nasihat Nabawi untuk meninggalkan zina dan hal-hal yang menjadi muqoddimah (pendahuluan) zina. Sebagaimana firman Alloh ta’ala,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra: 32) [Bahjatun Nazhirin 3/144].

Demikianlah, hendaknya pada saat perjalanan, kita bisa menjaga pandangan kita karena pada saat inilah banyak orang-orang asing yang kita lihat. Namun hal ini bukan berarti bahwa kita harus menutup mata selama perjalanan sehingga bahkan rambu lalu lintas pun tidak kita lihat, bisa kacau urusannya. Namun hendaklah kita melihat apa yang diperbolehkan kita melihatnya seperti jalan, pemandangan alam dan lain sebagainya. Kemudian kita menjaga pandangan kita dari hal-hal yang diharamkan untuk kita lihat baik berupa gambar-gambar maupun aurat manusia.

Penutup

Demikianlah, sedikit tips yang dapat kami berikan untuk mengisi waktu perjalanan kita. Penyebutan yang kami sebutkan di sini hanyalah sekedar contoh bukan pembatasan. Masih banyak kegiatan lain yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita untuk mengisi waktu perjalanan. Bisa dengan membaca buku yang bermanfaat seperti kisah para sahabat maupun para ulama. Kita juga bisa mendengarkan yang bermanfaat seperti mendengarkan bacaan Al Quran dan lain sebagainya. Atau mungkin juga kita bisa mendoakan orang-orang yang kita cintai seperti orang tua, teman, keluarga dan lain-lain, karena salah satu penyebab terkabulnya doa adalah ketika kita dalam kondisi safar. Semoga yang sedikit ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Amiin ya mujibbas saailiin.

Maraji’:

  1. Terjemah Hisnul Muslim.
  2. Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, Darul Qolam Beirut.
  3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihiin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilal, Daar ibnul Jauzi, Kerajaan Saudi Arabia.
  4. Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Ats Tsuraya.

***

Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)

Murojaah: Ustadz Afifi Abdul Wadud

Artikel www.muslim.or.id

Zakat Fithri Menggunakan Uang?

Posted: 26 Aug 2010 12:00 AM PDT

Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat menggunakan uang secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, dan sebagian membolehkan tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadatan yang mereka lakukan. Seringnya orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi) padahal sudah ada dalil yang tegas.

Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, tulisan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan kecemburuan terhadap sunnah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya:

“Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. An Nisa’: 59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat maka setiap ada masalah dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Siapa yang tidak bersikap demikian berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada kajian ini, terlebih dahulu akan disebutkan peraselisihan pendapat ulama, kemudian ditarjih (dipilih pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, penulis akan lebih banyak mengambil faedah dari risalah Ahkam Zakat Fitri karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan Ulama

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini. Pertama membolehkan pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang, kedua melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali pada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan? Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan, tidak menggunakan benda yang diperdagangkan. Namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak. Pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri ini sebagaimana zakat badan, maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran Kaffarah untuk semua jenis pelanggaran. Dimana sebab adanya Kaffarah  ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan dan bukan kewajiban karena harta. Pembayaran Kaffarah harus menggunakan apa yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan. Jika seseorang membayar Kaffarah dengan selain yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar Kaffarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan  tanpa alasan yang dibenarkan. Kaffarah  untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar Kaffarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, karena tidak menemukan budak. Demikian pula, tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga tidak boleh memberi uang Rp 5000; kepada 60 fakir miskin. Karena Kaffarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri?

Sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri itu mengikuti prosedur Kaffarah. Karena zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta adalah pernyataan Ibn Abbas dan Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri:

  1. Ibn Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, …. bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. …” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  2. Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok….” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri statusnya adalah zakat badan dan bukan zakat harta. Berikut adalah beberapa alasannya:

  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak, jasad dan hartanya semuanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana Kaffarah:

  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Sehingga tidak boleh diberikan kepada amil, muallaf, budak, masjid dan golongan yang lainnya. (lih. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/73)

Sebagai tambahan wacana berikut kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini:

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang

Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ats Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwasanya beliau mengatakan: “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq, beliau mengatakan: “Aku menjumpai mereka (Al Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka menunaikan zakat Ramadhan  (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwasanya beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang.  Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam As Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan Imam Malik & Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut nukilan perkataan mereka:

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan: “Tidak sah seseorang yang membayar zakat fitri dengan mata uang apapun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan: “Wajib menunaikan zakat fitri satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad Din Al Khas)

Perkataan Imam Asy Syafi’i

Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Wajib dalam zakat fitri dengan satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad Din Al Khas)

Perkataan Imam Ahmad

Al Khiraqi mengatakan: “Siapa yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al Mughni Ibn Qudamah)

Abu Daud mengatakan: “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham, beliau menjawab: “Aku khawatir zakatnya tidak diterima, karena menyelisihi sunnah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad, dinukil dalam Al Mughni 2/671).

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku: “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang berkomentar kepada Imam Ahmad: “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan: “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan: “Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum.” Allah juga berfirman: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.” Ada beberapa orang yang menolak sunnah dan mengatakan: fulan ini berkata demikian, fulan itu berkata demikian.” (Al Mughni Ibn Qudamah 2/671)

Dlahir madzhab Imam Ahmad bahwasanya beliau berpendapat tidak sah-nya membayar zakat fitri dengan nilai mata uang.

Beberapa perkataan ulama lainnya:

- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan: “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran Kaffarah  dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)

- Taqiyuddin Al Husaini As Syafi’i, Penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fiqh madzhab Syafi’i) mengatakan: “Syarat sah-nya pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan). Tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar 1/195)

- An Nawawi mengatakan: “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al Majmu’)

- An Nawawi mengatakan: “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut madzhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad dan Ibnul Mundzir.” (Al Majmu’)

- As Syaerazi As Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat. Karena kebenaran adalah milik Allah. Dan Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firmannya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berqurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al Majmu’)

- Ibn Hazm mengatakan: “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali. Karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah” (Al Muhalla bi Al Atsar 3/860)

- As Syaukani berpendapat tidak bolehnya menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As Sailul Jarar 2/86)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syaikh Ibn Baz, Syaikh Ibn Al Utsaimin, Syaikh Abu Bakr Al Jazairi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat. Karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang.

Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al Hasan Al Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (al Qur’an, Al Hadis, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.

Istihsan (menganggap lebih baik)
Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin dari pada bahan makanan.

Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.

Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.

1. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering…” (HR. Al Bukhari & Muslim)

2. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, ……sebagai makanan bagi orang miskin…” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)

3. Dari Abu Said Al Khudzri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Dulu kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur kering.” (HR. Al  Bukhari & Muslim)

4. Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (Aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)

5. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan  (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya….dst.” (HR. Al Bukhari 2311)

Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.

1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu  yang ditetapkan.

Imam Al Haramain Al Juwaini As Syafi’i mengatakan: “Bagi Madzhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Dan semua yang merupakan bentuk ibadah maka pelaksanaannya adalah mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan: “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya): “‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (dari pada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih manfaat dari pada apa yang diperintahkan. (jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pen.) maka apa yang Allah wajibkan melalui perintahNya lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara wakil tidak berhak untuk bertindak diluar yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk di antara bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-sekali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah. Karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan RasulNya. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, menunaikan ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Namun yang beliau praktekan bersama para sahabat adalah membayarkan zakat fitri menggunakan bahan makanan dan bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling paham akan kebutuhan umatnya, dan paling kasih sayang terhadap fakir miskin, bahkan paling kasih sayang kepada seluruh umatnya. Allah berfirman tentang beliau, yang artinya:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,  amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. At Taubah: 128)

Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Siapakah yang lebih paham tentang kebutuhan umat yang dicintainya melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sebut saja misalnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu perasaan orang lain. Tapi, bukankah Allah maha tahu? Maka sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu Allah ta’ala adalah bukti akan kasih sayang dan ilmu Allah kepada hambaNya.

3. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan, beliau tidak memberi kesimpulan: “…atau yang senilai dengan itu semua itu…” Jika dibolehkan mengganti bahan makanan dengan uang tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena beliau adalah orang yang sangat pemurah terhadap ilmu agama. Tidak mungkin hal itu akan beliau diamkan sementara ini adalah perkara agama yang penting.

Dalam masalah ini terdapat satu kaidah fiqh yang patut untuk diperhatikan:

السكوت في مقام البيان يفيد الحصر

“Tidak ada penjelasan (didiamkan) untuk masalah yang harusnya diberi keterangan menunjukkan makna pembatasan.”

kaidah ini disebutkan oleh Shidddiq Hasan Khan dalam Ar Raoudlah An Nadiyah. Berdasarkan kaidah ini, seringkali Ibn Hazm ketika menyebutkan sesuatu yang tidak ada dalilnya, beliau mengutip ayat Allah:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Tidaklah Tuhanmu pernah lupa.” (Qs. Maryam: 64)

Maka diamnya Allah ta’ala atau diamnya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak menyebutkan bolehnya membayar zakat menggunakan uang, tidaklah karena Allah atau RasulNya itu lupa. Maha Suci Allah dari sifat lupa. Namun ini menunjukkan bahwa hukum tersebut dibatasi dengan apa yang Allah jelaskan. Sedangkan, selain apa yang telah Allah dan RasulNya jelaskan tidak termasuk dalam ajaran yang Allah tetapkan.

Oleh karena itu, jika telah diketahui bahwasanya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada dinar dan dirham, sementara beliau tidak pernah menggunakan mata uang tersebut untuk membayar zakat fitri beliau, demikian pula, beliau tidak pernah memerintahkan atau mengajarkan para sahabat untuk membayar zakat fitri dengan mata uang, maka ini menunjukkan tidak bolehnya membayar zakat fitri menggunakan mata uang. Karena mata uang untuk pembayaran zakat fitri tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Dan sekali lagi, Allah dan RasulNya tidaklah lupa.

4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan dengan ukuran satu sha’ untuk pembayaran zakat fitri.

Sementara telah dipahami bersama bahwa harga masing-masing berbeda. Satu sha’ gandum jelas berbeda harganya dengan satu sha’ kurma. Demikian pula, satu sha’ anggur kering jelas berbeda harganya dengan satu sha’ keju (aqith). Padahal, jenis-jenis bahan makanan itulah yang digunakan oleh sahabat untuk membayar zakat fitri.

Lantas, dengan bahan makanan yang manakah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan nilai mata uang?

An Nawawi mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa bahan makanan yang harganya berbeda. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fitri untuk semua jenis makanan sebanyak satu sha’. Maka ini menunjukkan bahwa yang dijadikan acuan adalah ukuran sha’ bahan makanan dan tidak melihat harganya.” (Syarh Muslim)

Ibnul Qashar mengatakan: “Menggunakan mata uang adalah satu hal yang tidak memiliki alasan. Karena harga kurma dan harga gandum itu berbeda.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal)

Mari kita perhatikan perkataan Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)

Penegasan Abu Sa’id: “Dulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam….” menunjukkan hukum dan ajaran yang disampaikan Abu Said statusnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerena kejadian yang dilakukan para sahabat radhiallahu ‘anhu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih dalam masalah ibadah seperti zakat, dapat dipastikan bahwa hal itu terjadi di bawah pengawasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan persetujuan beliau. Demikian yang dijelaskan oleh Al Hafidz Ibn Hajar.

Kemudian Al Hafidz Ibn Hajar memberikan keterangan untuk perkataan Abu Said Al Khudzri tersebut: “Semua bahan makanan yang disebutkan dalam hadis Abu Said Al Khudzri, ketika cara membayarnya menggunakan ukuran yang sama (yaitu semuanya satu sha’, pen.), sementara harga masing-masing berbeda, ini menunjukkan bahwasanya yang menjadi prosedur zakat adalah membayarkan seukuran tersebut (satu sha’) dari bahan makanan apapun.” (Fathul Bari 3/437)

Ringkasnya, tidak mungkin nilai uang untuk pembayaran zakat bisa ditetapkan. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai ukuran standar. Karena jenis bahan makanan yang ditetapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermacam-macam, padahal harganya berbeda-beda, sementara ukurannya sama, yaitu satu sha’. Benarlah apa yang dikatakan Ibnul Qosim Al Maliki: “Masing-masing penduduk negri mengeluarkan zakatnya menggunakan bahan makanan yang umumnya digunakan. Kurma adalah bahan makanan penduduk madinah, penduduk Mesir tidak mengeluarkan zakat kecuali bur (gandum), sampai harga bur mahal kemudian bahan makanan yang umum mereka pakai menjadi sya’ir (gandum kasar), dan boleh (untuk dijadikan zakat) bagi mereka.” (Dinukil oleh Ibnu Batthal dalam Syarh Shahih Al Bukhari, yang diambil dari kitab Al Mudawwanah)

Catatan dan kesimpulan

Jika masih ada sebagian orang yang belum menerima sepenuhnya zakat fitri dengan makanan, karena beralasan bahwa uang itu lebih bermanfaat, maka mari kita analogikan kasus zakat fitri ini dengan kasus qurban. Apa yang bisa anda bayangkan ketika daging membludak di hampir semua daerah. Bahkan sampai ada yang busuk, atau ada yang muntah dan enek ketika melihat daging. Bukankah uang seharga daging lebih mereka butuhkan? Lebih-lebih bagi mereka yang tidak doyan daging. Akankah kita katakan: “Dibolehkan berqurban dengan uang seharga daging, sebagai antisipasi untuk orang yang tidak doyan daging?”

Orang yang berpendapat demikian bisa kita pastikan adalah orang yang terlalu jauh dari pemahaman agama yang benar.

Oleh karena itu, setelah dipahami pembayaran zakat fitri hanya dengan bahan makanan, maka kita tidak boleh menggantinya dengan mata uang selama bahan makanan masih ada. Karena terdapat kaidah dalam ilmu fiqh:

لا ينتقل إلى البدل إلا عند فقد المبدل عنه

“Tidak boleh berpindah kepada ‘pengganti’ kecuali jika yang  ‘asli’ tidak ada.”

Yang “asli” adalah bahan makanan (beras), sedangkan “pengganti” segala sesuatu selain beras.

Semoga bermanfaat…

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar