Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
- Prioritas Utama: Akhlaq Kepada Allah!
- Permasalahan Qodho’ Puasa Ramadhan
- Berbenah Diri Menyambut Bulan Ramadhan
Prioritas Utama: Akhlaq Kepada Allah! Posted: 02 Aug 2010 10:00 AM PDT Dari An Nawas bin Sam'an radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: البر حسن الخلق "Kebajikan itu keluhuran akhlaq"[1] Hadits ini memiliki beberapa kandungan sebagai berikut:
من معنى البر أن يراد به فعل جميع الطاعات الظاهرة والباطنة كقوله تعالى ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون [Diantara makna al birr adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin. (Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah ta'ala, لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (١٧٧) "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al Baqarah: 177).][2] Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al Baqarah tersebut, kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya meninggalkan larangan-Nya), serta berbuat kebajikan terhadap sesama makhluk Allah. Kita juga bisa menyatakan, – berdasarkan hadits An Nawwas radhiallahu 'anhu di atas-, bahwa seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap sesama adalah seorang yang berakhlak luhur, karena nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan keluhuran akhlak, dan pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai macam bentuk al birr. Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik terhadap Allah ta'ala dan sesamanya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, حُسْن الْخُلُق قِسْمَانِ أَحَدهمَا مَعَ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ ، وَهُوَ أَنْ يَعْلَم أَنَّ كُلّ مَا يَكُون مِنْك يُوجِب عُذْرًا ، وَكُلّ مَا يَأْتِي مِنْ اللَّه يُوجِب شُكْرًا ، فَلَا تَزَال شَاكِرًا لَهُ مُعْتَذِرًا إِلَيْهِ سَائِرًا إِلَيْهِ بَيْن مُطَالَعَة وَشُهُود عَيْب نَفْسك وَأَعْمَالك . وَالْقِسْم الثَّانِي : حُسْن الْخُلُق مَعَ النَّاس .وَجَمَاعَة أَمْرَانِ : بَذْل الْمَعْرُوف قَوْلًا وَفِعْلًا ، وَكَفّ الْأَذَى قَوْلًا وَفِعْلًا [Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan mesti (mengandung kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama dalam bentuk perkataan dan perbuatan].[3]
Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan yang terkadang terucap dari seorang muslim, yang menurut kami cukup fatal, seperti perkataan, "Si fulan yang non muslim itu lebih baik daripada fulan yang muslim" atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar tatkala melihat kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim, kemudian dia membandingkan saudaranya tersebut dengan seorang kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan sesamanya. Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid kepada Allah, betapa pun buruk akhlaknya, betapapun besar dosa yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang kafir, yang berbuat syirik kepada Allah ta'ala. Hal ini mengingat dosa syirik menduduki peringkat teratas dalam daftar dosa. Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap sesama, namun dia tidak menyembah Allah atau tidak menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang dilakukannya, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan pondasi keluhuran akhlak, yaitu berakhlak yang baik kepada sang Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada dirinya dan seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid merupakan hak Allah kepada setiap hamba-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits Mu'adz bin Jabal radhiallahu 'anhu.[4] Hal ini pun dipertegas dalam hadits 'Aisyah radhiallahu 'anhu. Beliau bertanya kepada rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, [Wahai rasulullah! Ibnu Jud'an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى يَوْمَ الدِّينِ "Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, "Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak."][5] Ibnu Jud'an adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada manusia tidak mampu menyelamatkannya dikarenakan dia tidak menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah dengan beriman dan bertauhid kepada-Nya.
Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikenal akan kebaikannya kepada sesama manusia, jika dia berbuat syirik seperti memakai jimat[6], mendatangi dukun[7], menyembelih untuk selain Allah[8], mendatangi kuburan para wali untuk meminta kepada mereka[9], maka dia adalah seorang yang berakhlak buruk. Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berikut, الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع عدم هذه الذنوب ["Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih dibarengi dengan tauhid yang benar itu masih lebih baik daripada tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan berbagai dosa."][10] Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap ringan perbuatan dosa dengan perkataan tersebut. Namun, beliau menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan menjauhi kesyirikan merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita sebelum menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya berada di bawah dosa syirik.
Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul Qayyim rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-hadits nabi seperti, " Kebajikan itu keluhuran akhlaq "; "Tidak ada amalan yang lebih berat apabila diletakkan di atas mizan daripada akhlak yang baik."; "Apa karunia terbaik yang diberikan kepada hamba?, nabi menjawab. "Akhlak yang baik.", mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa berakhlak baik kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada menauhidkan Allah ta'ala secara mutlak.
من التمس رضى الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى الناس عنه ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس ["Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang kemurkaan manusia, niscaya Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka kepadanya."][11] Waffaqaniyallahu wa iyyakum. Diadaptasi dari al Mau'izhatul Hasanah fil Akhlaqil Hasanah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Buaran Indah, Tangerang, Banten 29 Jumadits Tsani 1431 H. Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim Artikel www.muslim.or.id [1] HR. Muslim: 2553. [2] Jami'ul 'Ulum wal Hikam hlm. 252-253. Asy Syamilah. [3] Tahdzibus Sunan sebagaimana tertera dalam catatan kaki 'Aunul Ma'bud 13/91. [4] HR. Bukhari: 5912; Muslim: 30. [5] HR. Muslim: 214. [6] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang memakai jimat, sungguh dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad: 17458). [7] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan perkataannya, atau mengauli istrinya yang sedang haidh, menyetubuhi dubur istrinya, maka sesungguhnya dia telah berlepas diri dari ajaran yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Abu Dawud: 3408; Tirmidzi: 135; dan selain mereka). [8] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah melaknat orang yang menyembelih (baca: memberikan sesajen) untuk selain Allah." (HR. Muslim: 1978). [9] Allah ta'ala berfirman mengenai ucapan orang-orang musyrik, yang artinya, "Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada Kami di sisi Allah." (Yunus: 18). [10] Al Istiqamah 1/466; Asy Syamilah. [11] HR. Ibnu Hibban: 276. |
Permasalahan Qodho’ Puasa Ramadhan Posted: 02 Aug 2010 05:00 AM PDT Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga bermanfaat. Yang dimaksud dengan qodho' adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1] Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho'. Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho' Puasa Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho' puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu: Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa. Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan. Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas. Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta'ala, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al Baqarah: 185) Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari 'Aisyah, beliau mengatakan, كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. "Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho' shalat."[2] Adakah Qodho' bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa? Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho' puasa.[3] Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho' puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: "Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho' kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya". Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: "Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah." Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, "Apakah aku wajib mengqodho' (mengganti) shalatku?" Kami katakan, "Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho') shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima. Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, "Apakah aku wajib untuk mengqodho' puasa tersebut?" Kami pun akan menjawab, "Tidak wajib bagimu untuk mengqodho' puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak."[4] Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali." Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, "Lalu kenapa ada qodho' bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho', artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya." Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, "Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, "Shalatlah ketika dia ingat". Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima."[5] Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho', lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, "Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho', taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut."[6] Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, "Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh."[7] Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya'), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik. Qodho' Ramadhan Boleh Ditunda Qodho' Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya'ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah 'Aisyah pernah menunda qodho' puasanya sampai bulan Sya'ban. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan, كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ "Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho'nya kecuali di bulan Sya'ban." Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan 'Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.[8] Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, "Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho' Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak."[9] Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho' Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta'ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ "Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS. Al Mu'minun: 61) Mengakhirkan Qodho' Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho' setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya'ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho' puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho' Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho' puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm. Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi'i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho' puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho' puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho'. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma. Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da'imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, "Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho' puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho' tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho' atau dia memiliki kewajiban kafaroh?" Syaikh Ibnu Baz menjawab, "Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho' puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha' Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu 'anhum seperti Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma. Namun apabila dia menunda qodho'nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho' puasanya."[10] Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho' puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: (1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho' puasa, dan (3) wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho'. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho'), sehingga dia menunda qodho' Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho' puasanya saja. Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho' Puasa Apabila kita memiliki kewajiban qodho' puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho' tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho' puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho' dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ "Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu 'Abbas mengatakan, "Tidak mengapa jika (dalam mengqodho' puasa) tidak berurutan".[11] Semoga sajian ini bermanfaat. Bersambung insya Allah pada “Meninggal Dunia, Masih Memiliki Qodho’ Puasa” Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id [1] Lihat Rowdhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1/58. [2] HR. Muslim no. 335 [3] Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da'imah Lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta' (komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya. [4] HR. Muslim no. 1718 [5] Kutub wa Rosa-il lil 'Utsaimin, 172/68. [6] Idem [7] Fatawa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah [8] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146 [9] Fathul Bari, 4/191. [10] Majmu' Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347. [11] Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu'allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/241, 243) dengan sanad yang shahih. |
Berbenah Diri Menyambut Bulan Ramadhan Posted: 01 Aug 2010 08:00 PM PDT Allah Ta'ala telah mengutamakan sebagian waktu (zaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya. Allah Ta'ala berfirman, وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ "Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka" (QS al-Qashash:68). Syaikh 'Abdur Rahman as-Sa'di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata, "(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya), baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat"[1]. Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Ta'ala utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu rukun Islam. Sungguh Allah Ta'ala memuliakan bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta'ala yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya[2]. Bagaimana Seorang Muslim Menyambut Bulan Ramadhan? Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung, di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3]. Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Ta'ala dan ingin meraih ridha-Nya. Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat radhiyallahu 'anhum akan kedatangan bulan yang penuh berkah ini[4]. Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya, "Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)"[5]. Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, "Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah Ta'ala) tidak gembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira ketika para setan dibelenggu?"[6]. Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta'ala agar mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta'ala. Mu'alla bin al-Fadhl berkata, "Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta'ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)"[7]. Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah Ta'ala, agar di akhirat kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta'ala dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah"[8]. Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta'ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya. Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam[9]. Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat, tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya"[10]. Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja"[11]. Meraih Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa Ramadhan Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai takwa kepada Allah Ta'ala[12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[13]. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" (QS al-Baqarah:183). Imam Ibnu Katsir berkata, "Dalam ayat ini Allah Ta'ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela"[14]. Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa'di menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut: - Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya). - Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta'ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia mengetahui Allah maha mengawasi (perbuatan)nya. - Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut. - Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta'ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa. - Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[16]. Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, "Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya"[17]. Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[18]. Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas[19], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman: "Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya"[20]. Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah Ta'ala, {إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ} "Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas" (QS az-Zumar:10). Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,"Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa"[21]. Penutup Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta'ala dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang disyariatkan-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!"[22]. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين Kota Kendari, 6 Sya'ban 1431 H Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA Artikel www.muslim.or.id [1] Kitab "Taisiirul Kariimir Rahmaan" (hal. 622). [2] Lihat kitab "al-'Ibratu fi syahrish shaum" (hal. 5) tulisan guru kami yang mulia, syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad – semoga Allah menjaga beliau dalam kebaikan – . [3] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR al-Bukhari (no. 3103) dan Muslim (no. 1079). [4] Lihat keterangan imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab "Latha-iful ma'aarif" (hal. 174). [5] HR Ahmad (2/385), an-Nasa'i (no. 2106) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab "Tamaamul minnah" (hal. 395), karena dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain. [6] Kitab "Latha-iful ma'aarif" (hal. 174). [7] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab "Latha-iful ma'aarif" (hal. 174). [8] HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151). [9] Lihat kitab "Shifatu shalaatin Nabi r" (hal. 36) tulisan syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. [10] HR Ahmad (4/321), Abu Dawud (no. 796) dan Ibnu Hibban (no. 1889), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-'Iraqi dan syaikh al-Albani dalam kitab "Shalaatut taraawiih (hal. 119). [11] HR Ibnu Majah (no. 1690), Ahmad (2/373), Ibnu Khuzaimah (no. 1997) dan al-Hakim (no. 1571) dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan syaikh al-Albani. [12] Lihat kitab "Tafsiirul Qur'anil kariim" (2/317) tulisan syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin. [13] Lihat kitab "Manhajul Anbiya' fii tazkiyatin nufuus" (hal. 19-20). [14] Kitab "Tafsir Ibnu Katsir" (1/289). [15] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1933) dan Muslim (no. 2175). [16] Kitab "Taisiirul Kariimir Rahmaan" (hal. 86). [17] Kitab "al-Fawa-id" (hal. 97). [18] Lihat "Silsilatul ahaaditsish shahiihah" (no. 2623). [19] Lihat kitab "Latha-iful ma'aarif" (hal. 177). [20] HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini yang terdapat dalam "Shahih Muslim". [21] Kitab "Latha-iful ma'aarif" (hal. 177). [22] HR at-Tirmidzi (no. 682), Ibnu Majah (no. 1642), Ibnu Khuzaimah (no. 1883) dan Ibnu Hibban (no. 3435), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani. |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar