Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
- Kajian Umum Jogja (25 Juli 2010): Kiat Menjadi Ahlul Qur’an
- Proposal Kajian Umum “Rahasia Keutamaan Amal” Al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc
- Mengatur dan Membelanjakan Harta
Kajian Umum Jogja (25 Juli 2010): Kiat Menjadi Ahlul Qur’an Posted: 11 Jul 2010 05:51 PM PDT Kajian Umum |
Proposal Kajian Umum “Rahasia Keutamaan Amal” Al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc Posted: 11 Jul 2010 03:44 PM PDT LATAR BELAKANGSegala puji untuk Allah, Rabb yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia siapakah yang terbaik amalnya di antara mereka. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasul yang paling mulia, yang diutus dengan membawa kitab yang jelas, Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beserta sahabat, keluarga, dan para pengikut beliau yang mengamalkan sunnah beliau hingga hari kiamat. Amma ba'du. Dibanyak tempat di dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan kata iman dan amal dengan bergandengan. Diantaranya firman Allah Ta'ala: "dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya." (Ath-Tholaq: 11). Di ayat di atas, setelah Allah menyebutkan iman, Allah melanjutkannya dengan menyebut amal saleh. Padahal, sebagai mana yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwasanya iman itu mencakup keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Jadi jika disebutkan iman, maka sudah mencakup di dalamnya amal. Lalu kenapa Allah menyebut iman lalu menyebutkan amal di banyak tempat di dalam Al Qur'an? Padahal iman sudah mencakup amal. Ulama' menjelaskan bahwasanya penyebutan amal setelah iman menunjukkan pentingnya kedudukan amal dalam islam. Begitu pentingnya amal dalam islam, karena dengan amallah seseorang bisa meraih surga, sebagaimana firmanNya : "dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga)" (Saba': 36). " dan Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam Keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, Maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia), (yaitu) syurga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. dan itu adalah Balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)." (Toha: 75-76). Tidak hanya mendapatkan surga di ahirat kelak, namun juga Allah menyebutkan dengan beramal, seseorang akan mendapatkan kebahagian di dunia, sebagaimana firmanNya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97). Ada banyak sekali keutaman-keutaman amal yang disebutkan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Akan tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui hal tersebut. Terbukti dengan adanya sebagian orang yang malas untuk beramal dan meremehkan amal. Padahal, jika mereka mengetahui tentang keutamaan amal dan mengimaninya, niscaya mereka akan mengerjakan semua amalan yang mereka mampu. Hal inilah yang melatarbelakangi kami untuk mengadakan kajian umum ini. Semoga dengan diadakannya Kajian Umum ini kaum muslimin bisa mengetahui apa saja keutamaan-keutamaan amal dan bisa meningkatan amal soleh mereka. NAMA KEGIATANKajian Umum Bersama Al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc. MATERIKajian ini akan mengangkat tema "Rahasia Keutamaan Amal". TUJUANKajian ini diadakan dengan tujuan:
SASARANKegiatan ini diadakan dengan sasaran masyarakat muslim di Yogyakarta dan sekitarnya secara umum. PELAKSANAANKegiatan ini Insya Allah akan diadakan pada: Hari, tanggal : Ahad, 18 Juli 2010 Waktu : Pukul 08.00-11.45 Tempat : Masjid Ma'had Jamillurrohman, Sawo, Wirokerten, Banguntapan, Bantul Pemateri : Al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc Materi : "Rahasia Keutamaan Amal" Kajian tambahan bersama beliau : Hari, tanggal : Sabtu, 17 Juli 2010 Waktu : Ba'da Magrib – selesai Tempat : Masjid Baiturrohman, Jalan Veteran Komplek Polri Gowok, Blok B-2/49, Caturtunggal, Sleman, Yogyakarta Pemateri : Al Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc Materi : "Berbakti Kepad Orang Tua" SUSUNAN ACARA Terlampir KEPANITIAANTerlampir RENCANA ANGGARANTerlampir KETENTUAN DONASI Terlampir PENUTUPDemikianlah proposal ini kami susun. Semoga taufik dan pertolongan Allah selalu menyertai kita agar bisa melaksanakan acara ini dengan sebaik-baiknya. Tentu saja kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak sangatlah diperlukan. Dan hanya pada Allah lah kita bergantung dan meminta. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin. |
Mengatur dan Membelanjakan Harta Posted: 11 Jul 2010 01:00 PM PDT Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama. Allah Ta'ala berfirman, {وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ} "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri" (QS an-Nahl:89). Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy ditanya oleh seorang musyrik: Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab: "Benar, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…[1]. Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, «إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ» "Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu"[2]. Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, «لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ» "Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya"[3]. Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[4]. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idho'atul maal (menyia-nyiakan harta)[5]. Arti "idho'atul maal" (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta'ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[6]. Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya: {وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا} "Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian" (QS al-Furqaan:67). Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[7]. Juga dalam firman-Nya, {وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا} "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal" (QS al-Israa':29). Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: "Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah"[8]. Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta! Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau, «إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ» "Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta".[9] Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya, {إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ} "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar" (QS at-Tagaabun:15)[10]. Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: "Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga"[12]. Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[13]. Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, "Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan"[14]. Zuhud dalam Masalah Harta Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta'ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta'ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala. Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[15]. Salah seorang ulama salaf berkata: "Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu"[16].
Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah Allah Ta'ala berfirman, {وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ} "Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya" (QS Sabaa':39). Makna firman-Nya "Allah akan menggantinya" yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17]. Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, «مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ» "Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya"[18]. Arti "tidak berkurangnya harta dengan sedekah" adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta'ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta'ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata"[19]. Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Ta'ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma"[20]. Dalam hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria"[21]. Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta'ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit"[22]. Nasehat dan Penutup Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih. Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana'ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)"[23]. Sifat qana'ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta'ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rasulnya"[24]. Arti "ridha kepada Allah sebagai Rabb" adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[25]. Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana'ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana'ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta'ala berikan kepadanya"[26]. Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana'ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين Kota Kendari, 27 Jumadal ula 1431 H Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA Artikel www.muslim.or.id [1] HSR Muslim (no. 262). [2] HSR al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628). [3] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya'la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam "as-Shahiihah" (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan. [4] Lihat kitab "Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin" (1/479). [5] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593). [6] Lihat kitab "an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar" (3/237). [7] Kitab "Tafsir Ibnu Katsir" (3/433). [8] Kitab "Fathul Qadiir" (3/318). [9] HR. Tirmidzi no. 2336, shahih. [10] Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (2/507). [11] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab "Igaatsatul lahfan" (hal. 84 – Mawaaridul amaan). [12] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116). [13] Kitab "Igaatsatul lahfan" (hal. 83-84, Mawaaridul amaan). [14] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab "Igaatsatul lahfan" (hal. 83 – Mawaaridul amaan). [15] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384). [16] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179). [17] Lihat "Tafsir Ibnu Katsir" (3/713). [18] HSR Muslim (no. 2588). [19] Lihat kitab "Syarhu shahihi Muslim" (16/141) dan "Faidhul Qadiir" (5/503). [20] HSR al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016). [21] HSR Muslim (no. 2626). [22] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783). [23] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120). [24] HSR Muslim (no. 34). [25] Lihat kitab "Fiqhul asma-il husna" (hal. 81). [26] HSR Muslim (no. 1054). |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar