Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah |
Keagungan Ilmu Asma’ wa Shifat Posted: 03 Jul 2010 04:00 AM PDT Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sungguh ilmu tentang Allah 'Azza wa Jalla adalah ilmu yang paling mulia. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah melainkan hanyalah melaui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Berikut beberapa hal yang menunjukkan keagungan ilmu tentang asma' wa shifat (nama dan sifat Allah). Pertama Tidak diragukan lagi bahwa ilmu mengenai tauhid asma' wa shifat merupakan ilmu yang paling mulia dan paling utama, paling tinggi kedudukannya serta merupakan perkara yang paling penting. Kemuliaan dan keutamaan ilmu tergantung dari kemuliaan obyek yang dipelajari. Tidak ada yang lebih mulia dan lebih utama daripada ilmu yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam al Quran dan as Sunah. Oleh karena itu, menyibukkan diri untuk memahaminya dan mengilmuinya serta membahasnya merupakan tujuan yang paling mulia dan maksud yang utama. Kedua Sesungguhnya mengenal Allah dan mengilmui tentang Allah akan menghantarkan hamba kepada kecintaan, penghormatan dan pengagungan, rasa takut dan harap, serta rasa ikhlas beramal untuk-Nya. Kebutuhan seorang hamba terhadap ilmu tersebut dan memperoleh buah dari lmu tersebut merupakan kebutuhan yang paling besar, paling utama, dan paling mulia. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, "Tidak ada kebutuhan bagi jiwa yang lebih besar daripada mengenal Dzat yang telah Menciptakannya, kemudian untuk mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan merasa senang dengan pengenalannya tersebut, serta mencari wasilah terhadap-Nya dan kedekatan di sisi-Nya. Tidak ada jalan untuk mencapai hal itu kecuali dengan mengenal sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Semakin seorang hamba mengilmui tentang nama dan sifat Allah, dia akan lebih mengetahui tentang Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Sebaliknya, semakin seorang hamba mengingkari nama dan sifat Allah, dia akan semakin bodoh terhadap Allah dan akan semakin benci dan jauh dari-Nya. Allah Ta'ala akan menempatkan (mengingat) seorang hamba di sisi-Nya tatkala seorang hamba memberi tempat bagi Allah dalam jiwanya". Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-Nya serta mempelajari dan memahami maknanya. Ketiga Sesungguhnya tujuan Allah menciptakan makhluk dan menjadikan mereka dari tidak ada, menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya adalah untuk mengenal-Nya dan untuk beribadah kepada-Nya semata. Allah Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya, اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ اْلأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًا {12} "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. At Thaalaq:12). Allah Ta'ala juga berfirman, وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ {56} "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Adz Dzaariyat:56). Tujuan penciptaan makhluk adalah untuk hal tersebut (mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata) dan Allah menciptakan mereka untuk merealisasikannya. Maka kesibukan untuk mengetahui nama dan sifat Allah merupakan kesibukan terhadap tujuan penciptaan makhluk, dan meninggalkannya merupakan pengabaian terhadap tujuan pencitaan makhluk. Tidak selayaknya bagi seorang hamba (melalaikan) terhadap keutamaan Allah yang agung ini dan nikmat yang besar ini, dia bodoh terhadap Rabb-Nya dengan berpaling dari mengenal-Nya Keempat Salah satu rukun iman yang enam, bahkan merupakan yang paling utama dan paling pokok adalah iman kepada Allah. Dan bukanlah yang dimaksud iman itu hanya sekadar perkataan seseorang bahwa "Aku telah beriman" semata tanpa mengenal Rabb-Nya. Bahkan hakikat iman yang sebenarnya adalah mengenal Rabb-Nya dan bersungguh-sungguh dalam mengenal nama dan sifat-Nya sampai mencapai derajat yakin. Sebatas pengenalan seorang hamba terhadap Allah maka sebatas itu pula keimanannya. Semakin bertambah pengenalan terhadap nama dan sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalan seorang hamba terhadap Rabb-Nya dan semakin bertambah pula imannya. Sebaliknya, semakin kurang pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat-nya semakin berkurang pula imannya. Allah Ta'ala berfirman, …إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا … {28} ِ " Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama" (QS. Faathir:28). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Maksudnya yang takut dengan rasa takut yang sebenarnya adalah para ulama yang mengenal Allah. Karena semakin mengenal Allah Al 'Adziim, Al Qadiir, Al 'Aliim yang disifati dengan sifat yang sempurna dan dengan nama yang indah dan mulia, maka semakin sempurnalah pengenalan terhadap Allah dan semakin sempurna pula ilmu tentang nama dan sifat-Nya, rasa takut yang timbul akan semakin besar dan semakin bertambah". Seorang ulama salaf mengungkapkan hal ini dalam perkatannya, "Barangsiapa yang paling mengenal Allah, maka dia yang paling takut kepada-Nya". Kelima Ilmu tentang Allah Ta'ala merupakan pokok dari segala sesuatu. Sehingga orang yang mengenal-Nya dengan pengenalan yang hakiki akan mendapatkan petunjuk dalam berbuat dan melaksanakan syariat dengan pengenalannya terhadap sifat dan perbuatan-Nya tersebut. Karena Allah Ta'ala tidaklah berbuat kecuali merupakan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Seluruh perbuatan Allah dipenuhi dengan sikap adil, keutamaan, dan hikmah. Oleh karena itu Allah tidaklah menetapkan syariat kecuali sesuai dengan tuntutan keadilan dan hikmah. Seluruh berita yang Allah khabarkan benar dan juju, dan seeluruh perintah dan larangannya mengandung keadilan dan hikmah. Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, kelima hal di atas menunjukkan keutamaan ilmu asma' wa shifat dan besarnya kebutuhan hamba terhadap ilmu tersebut. Bahkan tidak ada kebutuhan yang lebih penting daripada kebutuhan seorang hamba untuk mengenal Rabbnya yang telah menciptakannya, yang menguasainya, yang mengatur segala urusannya, yang menentukan rezeki baginya, yang tidak butuh terhadap mereka sedikitpun. Dan tidak ada jalan untuk meluruskan dan memperbaiki hal tersebut kecuali dengan mengenal-Nya, beribadah kepada-Nya, dan beriman hanya kepada Allah semata. Kebahagiaan yang didapat seorang hamba sesuai dengan pengilmuannya terhadap Allah Ta'ala dan pengamalannya dengan ilmunya tersebut, yaitu dengan mentadabburi nama dan sifat Allah yang terdapat dalam al Quran dan as Sunnah, kemudian memahaminya dengan pemahaman yang benar. Tidak menyelewengakan maknanya, menolaknya, atau menyerupakannya dengan sifat makhluk. Segala puji bagi Allah, nama-nama-Nya yang baik dan mulia serta sifat-sifat-Nya agung.[1] Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush shaalihat.
Penulis: Abu 'Athifah Adika Mianoki Artikel www.muslim.or.id
[1]. Diringkas dengan sedikit perubahan dari pembahasan "Ahammiyatul 'ilmi bi asmaaillaahi wa shifaatihi" dalam kitab Fiqhul Ad'iyah wal Adzkar karya Syaikh 'Abdurrozzaq bin 'Abdulmuhsin al Badr , Jilid 1 hal 119-122. Cet, Daar Ibnu 'Affaan. |
Posted: 02 Jul 2010 05:00 PM PDT Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Berikut ini, sebelas karakter yang menjerumuskan manusia ke dalam kerugian. Semoga Allah menyelamatkan kita darinya. [1] Memeluk agama selain Islam Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan di akherat kelak dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. Ali Imran: 85). Hakekat dari ajaran agama Islam adalah; berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepadanya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari segala bentuk syirik dan pelakunya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 30) [2] Murtad dari agama Islam Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akherat dia termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. al-Ma'idah: 5). Kemurtadan bisa dibagi menjadi tiga bentuk; [1] Keyakinan, seperti halnya menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas haram dalam agama dan telah dimengerti dengan gamblang oleh setiap orang misalnya menghalalkan zina dan minum khamr. [2] Perbuatan, seperti halnya bersujud kepada makhluk, melempar mushaf al-Qur'an secara sengaja ke dalam comberan, dsb. [3] Ucapan, seperti halnya mengolok-olok adanya surga dan neraka, atau mengatakan bahwa dia tidak puas dengan hukum-hukum syari'at, dsb. (lihat Matn al-Ghayah wa at-Taqrib ta'liq Majid al-Hamawi, hal. 310-311) [3] Berbuat syirik Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu; bahwa jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan kelak kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. az-Zumar: 65). Syirik terbagi 2; akbar dan ashghar. Syirik akbar; mengeluarkan dari agama, pelakunya -jika meninggal dan tidak bertaubat- maka kekal di neraka, menghapuskan semua amalan, menyebabkan bolehnya menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Syirik ashghar; tidak mengeluarkan dari agama, apabila pelakunya masuk neraka maka tidak kekal, tidak menghapuskan semua amalan namun hanya amalan yang tercampurinya, tidak menyebabkan bolehnya menumpahkan darah atau mengambil hartanya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20) [4] Lemah iman dan tidak berpendirian Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebaikan (kesenangan dunia) dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan (musibah) dia berbalik ke belakang (murtad). Dia rugi di dunia dan di akherat. Itulah kerugian yang nyata." (QS. al-Hajj: 11). Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah; diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 45). Iman itu bercabang-cabang dan berbeda-beda tingkatannya, ada di antaranya jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada yang jika ditinggalkan menyebabkan dosa besar atau kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan menyebabkan tersia-siakannya pahala (lihat Mujmal Masa'il Iman, hal. 14) [5] Tidak beramal salih dan tidak berdakwah Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran." (QS. al-'Ashr: 1-3). Mutharrif bin Abdullah berkata, "Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat." Ibnul Mubarak berkata, "Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya." Ibnu 'Ajlan berkata, "Amal tidak akan baik kecuali dengan tiga hal; ketakwaan kepada Allah, niat yang baik, dan benar/sesuai tuntunan." Fudhail bin Iyadh berkata, "Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan." (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Dakwah juga termasuk bagian dari amal ibadah, sehingga harus ikhlas dan sesuai tuntunan (lihat al-Hujaj al-Qawiyyah, hal. 11) [6] Mendustakan perjumpaan dengan Allah Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Sehingga apabila kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, maka mereka berkata; 'Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu.' Sementara mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu." (QS. al-An'aam: 31). Barangsiapa yang mendustakan hari kebangkitan maka dia telah kafir (lihat QS. At-Taghabun: 7). [7] Menentang ayat-ayat Allah Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "(dan) barangsiapa yang ringan timbangan kebaikannya (karena timbangan keburukan/dosanya lebih berat), maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami." (QS. al-A'raaf: 9) [8] Mengangkat setan sebagai pelindung Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Barangsiapa yang menjadikan syaitan sebagai wali/pelindung maka sesungguhnya dia telah menderita kerugian yang sangat nyata." (QS. an-Nisaa': 119). Bagaimana musuh justru dijadikan teman? Sementara Allah ta'ala berfirman mengisahkan ucapan Iblis sang pemuka syaithan (yang artinya), "Karena Engkau telah menetapkan aku sesat, pasti aku akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku pasti akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (QS. al-A'raaf: 16-17). Gangguan Iblis 'dari arah kiri', menurut penafsiran sebagian ulama dimaknakan dengan kemaksiatan yang diperintahkan dan dianjurkan Iblis yang dihias-hiasi olehnya supaya tampak indah dan menarik (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 137). [9] Berbuat kerusakan di bumi Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "(orang fasik yaitu) orang-orang yang melenggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. al-Baqarah: 27). Melakukan kemaksiatan adalah bentuk dari berbuat kerusakan di bumi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 48). [10] Merasa aman dari makar Allah Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Apakah mereka merasa aman dari makar Allah, tidak ada yang merasa aman dari makar Allah selain orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raaf: 99). Merasa aman dari makar Allah tergolong dosa besar yang sangat besar karena ia bertolak belakang dengan nilai-nilai tauhid. Termasuk bentuk merasa aman dari makar Allah adalah terus bertahan di atas kemaksiatan namun mengangankan ampunan Allah (lihat Fath al-Majid, hal. 346-347) [11] Bergabung dengan hizbu syaithan Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Ingatlah bahwa sesungguhnya hizb syaithan itulah orang-orang yang merugi." (QS. al-Mujadilah: 19). Termasuk dalam golongan hizb syaithan adalah kaum munafikin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 847) Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Artikel www.muslim.or.id |
You are subscribed to email updates from Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar