Selasa, 15 Juni 2010

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah di Masyarakat (2)

Posted: 15 Jun 2010 01:00 AM PDT

Tulisan kali ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah”.

Contoh-contoh penyimpangan dalam nama dan sifat Allah yang tersebar di masyarakat

Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Tapi meskipun demikian, tentu semua ini harus dijauhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan mendangkalkan keyakinan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala.

Beberapa contoh penyimpangan tersebut di antaranya:

- Keyakinan sebagian dari orang-orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari al-Asma-ul husna (nama-nama Allah yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu, misalnya penyakit mata bisa disembuhkan dengan membaca nama Allah yang khusus untuk menyembuhkan penyakit mata, nama ini dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu. Demikian pula penyakit hidung, kepala, tulang dan anggota badan lainnya.

Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allah yang maha indah, di samping itu juga merupakan perbuatan bid'ah[1] yang sesat serta memalingkan manusia dari zikir dan ruqyah[2] yang bersumber dari al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

- Menjadikan nama-nama Allah sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian digantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain sebagainya.

Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat syirik"[3].

- Menulis nama-nama Allah Ta’ala pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.

Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, juga karena nama-nama Allah Ta’ala terlalu agung dan mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.

- Menjadikan al-Asma-ul husna (nama-nama Allah yang maha indah) sebagai zikir sehari-hari dengan membaca semua nama tersebut, ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang sampai ratusan kali.

Adapun makna "berdoa dengan nama-nama Allah" seperti yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat di atas, juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga"[4], artinya adalah menghafal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan mengamalkannya serta berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebut nama-Nya yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.

- Termasuk kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi nama seorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala, seperi 'abdun nabi (hambanya Nabi) atau 'abdul ka'bah (hambanya ka'bah) dan yang semisalnya.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah, karena manghambakan diri kepada selain Allah Ta’ala adalah perbuatan syirik.

- Juga termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertulisakan nama-nama Allah disembarang tempat ataupun di tempat sampah yang bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya, padahal Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak menjawab salam seorang sahabat ketika beliau sedang berada di WC[5], dalam rangka memuliakan nama Allah Ta’ala dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis[6].

Cara untuk menyelamatkan diri dari penyimpangan dan dosa besar ini

Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.

Kemudian dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu metode para ulama salaf, Ahlus sunnah wal jama'ah, yang telah direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" (QS. At Taubah:100).

Oleh karena itulah metode Ahlus sunnah wal jama'ah digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a'lam wa ahkam wa aslam[7] (yang paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmati beliau – menggambarkan agungnya metode ini secara ringkas dalam ucapan beliau, "Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama'ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk. Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama'ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta'thiil (menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil (meyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal jama'ah mengimani bahwa Allah Ta’ala,

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Asy Syuura:11).

Maka Ahlus Sunnah wal jama'ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan/menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak meyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah Ta’ala tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah I tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah Ta’ala Berfirman,

{سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

"Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. (QS Ash Shaaffaat: 180-182).

Maka (dalam ayat ini) Allah mansucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul r karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah Ta’ala telah menghimpun antara an nafyu (meniadakan sifat-sifat buruk) dan al itsbat (menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama'ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Ta’ala, yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh"[8].

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan metode Ahlus sunnah wal jama'ah dalam berislam agar kita terhindar dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 11 Jumadal Awal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.

[2] Bacaan yang dibacakan kepada orang yang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya dengan izin Allah U.

[3] HR Ahmad (4/156) dan al-Hakim (no. 7513) , dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam "Silsilatul ahaaditsish shahiihah" (no. 492).

[4] HSR al-Bukhari (no. 2585) dan Muslim (no. 2677).

[5] HR Abu Dawud (no. 16) dan at-Tirmidzi (no.90), dinyatakan hasan shahih oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.

[6] Keterangan syaikh 'Abdurrazzak bin 'Abdul Muhsin al-Badr dalam kitab "Fiqhul asma-il husna" (hal. 66-69) dengan ringkas dan penyesuaian.

[7] Lihat keterangan imam Ibnu Taimiyah dalam kitab "Dar-u ta'aarudhil 'aqli wan naqli" (3/95) dan imam Ibnul Qayyim dalam kitab "ash-Shawaa'iqul mursalah" (3/1134).

[8] Kitab "Al 'Aqiidatul waasithiyyah" (hal. 6-8).

Jadilah Perintis Sunnah Hasanah Bukan Bid’ah Hasanah!

Posted: 14 Jun 2010 10:00 PM PDT

Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata,

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ

تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Umumnya mereka dari kabilah Mudhar atau seluruhnya dari Mudhar, lalu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat, kemudian beliau shalat. Setelah shalat beliau berkhutbah seraya membaca ayat,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS. An Nisa: 1)

dan membaca ayat di surat Al Hasyr,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al Hasyr:18) Telah bershodaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’ kurmanya sampai beliau berkata walaupun separuh kurma.

Jarir berkata, ‘Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurroh, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu’. Jarir berkata: ‘Kemudian berturut-turut orang memberi sampai aku melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas, lalu Rasulullah bersabda,

"Barang siapa yang membuat contoh dalam Islam contoh yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang mencontohkan contoh jelek dalam islam maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka".

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh : Imam Muslim dalam Shahih Muslim (7/103-104, dengan Syarah An Nawawi) dan (16/225-226), Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362), An Nasaa’i dalam Al Mujtaba’ (5/75-76-77), Al Tirmidzi dalam Al Jaami’ (5/42) no. 2675 dengan lafadz :

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ……… وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً

dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.

Telaah Makna Hadits

Perkataan : (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) An Nimar dengan di-kasrah-kan huruf Nun adalah bentuk plural dari Namirah dengan di-fathah-kan. Ia bermakna baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (Al Abaa’) dengan di-mad-kan dan di-fathah-kan huruf  ‘ain-nya   عَبَاءة – عَبَاية . Sedangkan makna مُجْتَابِي النِّمَارِ  artinya sobek dan belas bagian tengahnya.

Perkataan: فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermakna berubah.

Perkataan :  فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting dan menasehati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan mereka dan memperingati mereka dari perkara jelek.

Perkataan beliau : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ , sebab dibacanya ayat ini karena ia lebih pas dalam menganujurkan mereka bershodaqah dan karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.

Perkataan: رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ  , Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Bermakna tempat yang tinggi seperti bukit kecil.

Perkataan : حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ bermakna bersinar karena senang dan bahagia.

Perkataan: مُذْهَبَةٌ para ulama membacanya dengan dua sisi,

Pertama: yang sudah masyhur dan dirojihkan Al Qaadhi dan Jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha' dan setelahnya ba'.

Kedua: مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha' dan setelahnya nun.

Al Qadhi menjelaskan dalam Masyaaqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya:

Pertama : maknanya perak keemasan, ini cocok untuk keindahan wajah dan sinarnya.

Kedua: menyerupakannya dalam keindahan dan bersinarnya dengan Al Mudzhabah dari kulit dan bentuk pluralnya adalah madzaahib. Al Mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.

Adapun sebab bahagianya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senangnya beliau dengan bersegeranya kaum muslimin melaksanakan ketaatan kepada Allah, mengeluarkan hartanya karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih sayang sesama kaum muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Seorang sudah sepatutnya jika melihat hal seperti ini, untuk bahagia dan menampakan kebahagiannya dan senangnya karena apa yang telah dijelaskan tadi.

Perkataan : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا , yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah contoh teladan atau perilaku, bukan bermakna sunnah secara terminologi syar'i, sebagaimana dalam sabda beliau,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ

dan sabdanya,

منْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي.

Konsekuensi hadits menunjukkan makna ini. Maksud saya, dengan konsekuensi hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً ,

karena Rasulullah telah mensifati sunnah dalam hadits ini dengan kejelekan, dan tidak ada sunnah jelek dalam Islam. Maka yang dimaksud sunnah di sini adalah makna bahasa (etimologi) bukan makna istilah.

Kemudian kita sampaikan kepada orang yang menyelisihi kita,

Sungguh orang-orang itu telah memisah hal-hal yang sama

dan menyamakan hal-hal yang berbeda,

Mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk,

yang berkualitas rendah dengan yang tinggi,

dan meletakkan tanah dalam adonan roti.

Kata Sunnah ada dalam banyak nash bermakna yang jalan contoh teladan atau perilaku, sebagaimana hal itu ada dalama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

"Tidak ada satu jiwa pun terbunuh secara zhalim kecuali anak adam pertama mendapatkan bagian dari darahnya, itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan".

Dan juga sabdanya,

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

"Sungguh kalian kelak akan mengekor perilaku orang-orang setelah kalian (yaitu orang musyrik)"

Dari hadits-hadits ini, seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampuradukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan terdahulu, maka kami sampaikan kepada mereka konsekuensi pernyataan mereka tersebut. Yaitu sesungguhnya membunuh adalah sunnah dan meniru orang musyrik adalah sunnah! Tentu ini adalah pernyataan yang tidak akan disampaikan seorang yang berakal. Sehingga kalau begitu tidak mungkin kita pahami sabda beliau مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً  sebagai amalan baru yang diada-adakan secara langsung, karena sunnah itu baik atau jeleknya tidak diketahui kecuali dengan syariat. Hal itu karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari'at semata tidak ada celah bagi akal dalam hal ini. Inilah madzhab ahlu sunnah wal jamaah

Yang menilai baik dan buruk dengan akal hanya merupakan pendapat ahlul bid'ah, sehingga mengharuskan sunnah dalam hadits tersebut baik menurut syariat atau buruk menurut syariat. Hal ini tidak pas kecuali untuk seperti shadaqah yang disebutkan dan yang menyerupainya dari sunnah-sunnah yang disyariatkan. Sedangkan sunnah sayyi'ah (yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari'at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam ketika Rasulullah bersabda: لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ , dan kepada kebidahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari'at.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (13/302): "Al Muhallab berkata: Bab ini menjelaskan larangan dan peringatan dari kesesatan dan menjauhi kebidahan dan perkara-perkara baru dalam agama serta larangan menyelisihi jalan kaum mukminin.".

Sisi peringatannya (wajhu tahdzir) adalah orang yang berbuat kebidahan terkadang meremehkannya karena kecilnya di awal dan tidak merasakan timbulnya kerusakan akibat amalan tersebut, yaitu mendapatkan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, walaupuan seandainya ia tidak mengamalkannya namun karena ia adalah orang yang merintisnya.

Imam An Nawawi berkata dalam Shahih Muslim (7/104), "Dalam hadits ini terdzpat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan contoh baik serta ada peringatan dari merintis kebatilan dan perkara jelek. Sebab ucapan beliau dalam hadits ini adalah pernyataan beliau sebelumnya:

فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ

Ini merupakan keutamaan yang agung bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut".

Salah Paham Terhadap Hadits

Hadits ini dipahami salah ketika banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bid'ah menjadi bidah hasanah(baik) dan bidaha sayyi'ah (tercela). Sebagian ulama pun ikut-ikutan dalam hal ini. Akan jelas bagimu kesalahan cara berdalil ini sebagai berikut:

Banyak dari orang yang berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bidah yang menyampaikan hadits sepotong-spotong dengan menampakkan kepadamu sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalisasi dalam pembagian bidah tersebut, lalu mengklaim adanya bidah hasanah, ketika ia tidak menyebutkan obyek yang menyebabkan nabi menyatakan :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً

Kami telah menjelaskan di atas maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa bukan secara syar'i

Sungguh saya menuntut orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan: "Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sunnah yang jelek?". Walaupun beliau sendiri menyatakan dalam hadits ini: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً . Jika kalian menjawab: "Ya, ada", maka tidak perlu berdebat, karena dengan pernyataan jelek seorang dapat keluar dari agama tanpa disadari, karena hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama. Jika menjawab "Tidak" maka kita sampaikan kepadanya hadits ini yang ada padanya sifat sunnah dengan jelek agar mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah secara bahasa dan bukan istilah syari'at.

Sampai-sampai hadits ini walaupun seandainya tidak ada pensifatan sunnah dengan jelek sekalipun, sudah cukup dengan lafadz yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً

Karena hal itu adalah pensifatan yang salah dan tidak layak sama sekali, maknanya disana tentu ada sunnah yang tidak baik dari sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dalil yang kuat menunjukkan bahwa lafadz tersebut secara bahasa, karena sudah dimaklumi sunnah itu adalah agama. Jika anda katakan, "Ini sunnah yang baik, maka anda sama saja dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, pada apa yang kamu ingin bersihkan".[1]

Penulis (Usamah Al Qashash) berkata, "Sungguh salah paham terhadap hadits ini, membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang yang melakukan perkara bidah yang tidak ada dasarnya dalam syariat, ketika dingkari berdalil dengan hadits ini dan menyatakan: "Ini perkara baik dan tidak apa-apa", padahal nabi menyatakan: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً  .

Kita sampaikan kepada mereka ini: Sesungguhnya sahabat yang memulai yang melakukan amalan shadaqah tidak melakukan sesuatu yang baru dalam syari'at. Shadaqah disyaria'tkan dan dianjurkan oleh Rabb alam semesta dalam Al Qur'an dan juga ada dalam sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya tersebut menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah, namun ketika mereka semua lambat dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bangkit seorang Anshar dari mereka dan menyerahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam satu shurrah shadaqah, dan dari sini berturut-turut orang menyerahkan shadaqahnya, sehingga perbuatan Anshar ini terpuji. Ia tidak berbuat bidah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari'atkan. Maka dari mana mereka dapat menyatakan: "Di sana ada bidah hasanah bermakna istilah syar'i?".

Kemudian seandainya makna hadits seperti yang telah mereka pahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif, karena Rasulullah menganggap seluruh bid'ah adalah sesat. Oleh karenanya pemahaman mereka tersebut jelas tidak benar.

Al Barkali berkata dalam Al Thariqah Al Muhammadiyah (1/128, dengan syarah Al Khaadimi), "Seandainya anda meneliti semua yang disampaikan padanya bid'ah hasanah dari jenis ibadah, maka tentu kamu mendapatinya diizinkan oleh syari'at baik secara isyarat atau dalil".

Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam komentarnya terhadap kitab Al Baa'its 'Ala Inkar Al Bida' Wal Hawadits hlm 87,"Dengan demikian keluar dari keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: setiap bid’ah sesat, karena bidah dalam makna syar'i adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari'at baik perkataan dan perbuatan, jelas-jelas atau isyarat.

Setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari'at adalah bidah yang sesat, walaupun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan atau yang terkenal sebagai Syaikh!! Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah selama tidak sesuai dengan syari'at.

Kita sampaikan kepada orang yang menganggap baik banyak kebidahan dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً   tidak bermakna orang yang mencontohkan dalam agama yaitu dalam hukum dan furu'-nya serta ushul-nya, bukan! Ini merupakan kebodohan, namun maksudnya adalah orang yang mencontohkan dalam zaman dan naungan Islam yaitu pada zaman dan keberadaannya. Hal itu karena agama datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan, sehingga dalam naungan agama yang lurus menjadi sesuatu yang agung perbuatan mencontohkan padanya satu kejelekan. Tidak ada perbedan anatara kejelekan yang baru atau kejelekan yang sudah ada dahulu sebelum islam.[2]. (Sampai di sini nukilan dari Al Israaq)

Di samping itu, seandainya sahabat dari Anshar tersebut melakukan perbuatan lain selain shadaqah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya maka perbuatan atau perkataan sahabat ini adalah sunnah setelah persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah ini tidak ditetapkan kesunahannya dari sekedar perkataan atau perbuatan saja namun hanya karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terjadi pada sahabat yang menyatakan setelah I'tidal dari ruku' :

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Ketika selesai sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Siapakah yang mengucapkan hal itu?" Maka ia menjawab: "Saya wahai Rasulullah", lalu beliau bersabda:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا

"Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya".

Ini persetujuan dan anjuran dari beliau, sehingga perbuatannya adalah sunnah dari sisi ini dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataaannya ini ketika i'tidal setelah ruku' dan ia sunnah hasanah yang diambil dari persetujuan Nabi. Persetujuan ini terputus dengan kematian beliau, kecuali yang telah beliau arahkan, maka ia tidak keluar dari makna iqrar (persetujuan) beliau.

Sebagian orang yang mencoba mencari nash lain untuk melegalkan pendapatnya tentang pembagian ini, sehingga sebagiannya menyandarkan kepada pernyataan Umar dalam shalat tarawih: 'Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini'

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha Shirati Al Mustaqim hlm 270, "Sebagian orang berpendapat kebidahan terbagi menjadi dua bagian; hasanah dan qabihaah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar dalam shalat tarawih: "Sebaik-baik bidah adalah ini" dan dengan dalil dengan beberapa perkataan dan perbuatan yang terjadi setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau dia hasanah karena dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dari ijma' atau qiyas. Terkadang orang yang tidak faham ushul ilmu memasukkan dalam hal ini kebiasaan banyak orang dalam berbagai ibadah dan sejenisnya, lalu menjadikan hal ini sebagai dalil yang menguatkan orang yang menganggap baik sebagian kebidahan. Ada kalanya menjadikan kebiasaannya dan kebiasaan orang yang dikenalnya sebagai ijma' walaupun tidak tahu pendapat seluruh kaum muslimin dalam hal tersebut. Atau terkadang enggan meninggalkan kebiasaannya seperti kondisi orang yang Allah nyatakan,

"Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya“. (QS. Al Ma’idah: 104)

Alangkah banyak orang yang dikatakan memiliki ilmu atau banyak  ibadah berhujah dengan hujjah-hujjah yang keluar dari pokok ilmu yang diakui dalam agama ini.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel www.muslim.or.id


[1] Isyraq Al Syari'at Fil Hukmi 'Ala Taqsimi Al Bid'ah, hal. 20 karya Usaamah Al Qashaash.

[2] Israq Al Asyari'at Fil Hukmi Ala Taqsimi Al Bid'ah, hlm 29.

Soal-109: Hukum Mengakhirkan Shalat

Posted: 14 Jun 2010 07:00 PM PDT

Mengakhirkan shalat karena mengerjakan ujian, apakah termasuk lalai dalam sholat?

Dijawab Oleh Ust Aris Munandar. SS

Jawabannya Klik Player:

Download

This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now

Proposal Bakti Sosial “Kesabaran dan Kemurahan Hati untuk Membantu Sesama”.

Posted: 14 Jun 2010 06:48 PM PDT

LATAR BELAKANG

Betapa banyak orang di sekitar kita yang berada masih di bawah garis kemiskinan. Mereka bekerja keras setiap harinya walaupun hanya cukup untuk sesuap nasi saja.  Belum lagi kebutuhan pokok yang lain, mereka mesti mencari utang sana-sini.

Disisi lain, betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih. Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang tidak pernah puas.

Sikap seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Seharusnya seorang muslim memperhatikan petuah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan sebenarnya.

Maka Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari (YPIA) Yogyakarta bekerjasama dengan Lembaga Sosial Al Qois merasa tergerak dengan keadaan saudara kita sesama muslim yang keadaannya berada di bawah kita dengan mengadakan Bakti Sosial "Kesabaran dan Kemurahan Hati untuk Membantu Sesama". Dengan diadakannya Bakti Sosial ini kami berharap dapat meringankan sedikit beban yang ditanggung mereka, sehingga mereka bisa menikmati makanan sebagaimana yang kita makan, bisa menikmati pakaian sebagaimana yang kita pakai, dan bisa memenuhi kebutuhan sebagaimana ketika kita mempunyai uang.

NAMA KEGIATAN

Kegiatan ini diberi nama Bakti Sosial "Kesabaran dan Kemurahan Hati untuk Membantu Sesama".

BENTUK KEGIATAN

Bentuk Kegiatan Bakti Sosial ini berupa pembagian sembako, pakaian layak pakai, uang tunai, dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak mampu di Desa Nglarang, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dan terdapat selingan Tausiyah Agama Islam yang disampaikan oleh Ustadz.

TUJUAN

Adapun tujuan pelaksanaan Bakti Sosial "Kesabaran dan Kemurahan Hati untuk Membantu Sesama" adalah sebagai berikut.

  1. Menumbuhkan rasa kepedulian sosial kepada sesama muslim.
  2. Meringankan beban perekonomian masyarakat tidak mampu.
  3. Meningkatkan dan mempererat tali persaudaran.

SASARAN

Kegiatan Bakti Sosial ini akan ditujukan kepada masyarakat tidak mampu di Desa Nglarang, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

PELAKSANAAN

Kegiatan ini Insya Allah akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal  :  Ahad, 27 Juni 2010

Waktu              :  Pukul 08.00-12.00 WIB

Tempat            :  Desa Nglarang, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

Download Proposal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar